53. Tidak Ada Ruang Menghindar

36 6 0
                                    


Bagaimanapun juga aku tidak akan bisa terus menghindar sebab Ilham adalah bagian dari keluarga ini.

Tepat ketika pintu ruang perawatan Zahra dibuka satu-satunya pemandangan yang menarik perhatianku ialah keberadaan pria itu. Dia duduk di tepi ranjang sembari memijit kaki Zahra. Tidak ada yang aneh, seharusnya. Hanya saja begitu mata kami bertemu ..., seolah macam orang tertangkap basah ..., Ilham berhenti. Dia menunduk, menghindariku.

Kenapa?

Mungkinkah dia malu padaku?

Namun, tak mau melihat Zahra bersedih aku pun langsung menyapa adikku dengan senyuman selebar mungkin. Kupeluk dia lalu bertanya, "Bunda di mana?"

"Lagi ke ruangan dokter."

"Oh." Kubelai rambut Zahra yang sedikit lepek itu dengan hati-hati, lalu melirik kembali pada Ilham. Dia masih sama, tertunduk. Dan jujur saja, aku merasa sangat ..., dengar! Ada letupan-letupan kecil di dalam dadaku. Namun, beruntungnya masih bisa ditahan. "Kamu sudah makan?"

"Eh?"

"Aku tanya, kamu sudah makan?"

Jelas terlihat kebingungan di wajah Ilham saat menyadari bahwa pertanyaan itu kutujukan padanya.

"Kamu ..., ngomong sama aku?"

Aku mengangguk. "Makan dulu. Aku bawa nasi. Biar Zahra sama aku."

Dia masih bergeming. Mematung? Atau mungkin lebih tepatnya, heran? Yang jelas, dia baru bergerak saat Zahra memintanya. Maka, Ilham pun segera membuka isi tas yang kubawa lalu membawanya keluar kamar.

"Gimana perutmu, Za? Masih sakit?" tanyaku.

Zahra menjawab, "Sudah nggak sakit sama sekali."

"Masih pusing?"

"Nggak." Tangan Zahra menarik tanganku yang lalu dia letakkan di permukaan perutnya. "Makasih ya, Mbak. Dia pasti senang punya ibu kayak Mbak Maya."

"Gimana? Ibu?"

"Iya. Ibu. Dia anaknya Mbak Maya juga kan?"

"Seperti kita jadi anak Ayah dan Bunda?"

Namun, Zahra malah menggeleng. "Bukan."

"Terus? Maksud kamu?"

"Aku sudah memutuskan, Mbak."

"Memutuskan apa?"

Dia tidak langsung menjawab tetapi malah menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Mbak Maya orang yang baik. Maka dari itu aku mau setelah bayi ini lahir, Mbak yang merawat dia ya?"

"Kamu ngomong apa sih?"

"Aku serius, Mbak!" ujarnya. "Aku nggak mau egois. Setelah bayi ini lahir, aku mau pisah sama Mas Ilham."

"Terus? Kamu mau Mbak menikah sama Ilham? Begitu?"

Zahra terdiam, tetapi air mukanya sudah memberiku jawaban.

"Ya ampun, Zahra!" Kutarik tanganku dari genggamannya denga nagak kasar. "Nggak semudah itu, Za!"

"Tapi, aku mau –"

"Nggak semua hal bisa berjalan seperti yang kamu mau!" Aku menyela dengan sedikit penekanan. "Dengar!" Tanganku menyentuh kedua bahunya kuat-kuat. "Pernikahan itu bukan mainan. Kamu dan Ilham adalah orang tua dari bayi ini. Kalian nggak bisa mundur lagi."

"Mbak –"

"Kamu pikir, setelah semua yang terjadi ..., hubungan Mbak Maya dan Ilham bisa kayak dulu lagi? Nggak, Za! Nggak bisa! Apa yang sudah pecah tidak akan pernah bisa utuh lagi. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah berjalan di rute yang masih bisa diselamatkan. Apa itu? Nggak lain dan nggak bukan adalah membesarkan anak ini. Dan tugas siapa itu? Tugas kalian berdua. Kalian orang tuanya. Orang tua kandungnya."

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang