36. Keraguan

33 3 0
                                    


Pak Martin sedang tidur saat aku tiba di asrama dan memintanya membukakan gerbang. Terlihat jelas kalau pria tua itu sedang mengantuk berat, di tambah sausana asrama yang sangat sepi siang itu. Bahkan hanya terdapat dua sepeda motor di parkiran. Maklum saja kebijakan Dokter Wahyu untuk meliburkan panti selama seminggu guna menyambut pesta demokrasi telah memberi kesempatan pada para staff untuk pulang kampung. Sejak akhir pekan kemarin para oma dan opa telah dijemput oleh keluarganya masing-masing, itu jugalah yang memberiku waktu berlibur bersama Pak Johan dan Opa Joshua.

Omong-omong Opa Josh ..., sungguh aku sama sekali tidak punya niat apa-apa selain memberinya pertolongan. Itulah kenapa hadiah pemberian Pak Johan benar-benar membuatku tidak nyaman. Tetapi, mau bagaimana lagi? Beliau tidak memberiku kesempatan menolak. Pun dengan niat tulusnya penolakan bisa berpotensi membuatnya tersinggung.

Buru-buru aku naik ke kamar dan melemparkan kotak hadiah ke atas ranjang. Kulepaskan pakaian yang membalut tubuhku, lalu menggantung jaket merah muda tersebut ke gantungan di belakang pintu, sebelum akhirnya menyambar handuk kuning di sebelahnya. Berhubung tadi pagi aku tak berani mandi maka sekarang kuputuskan untuk membersihkan diri. Tubuhku terasa lengket dan menjijikkan.

Begitu berada di dalam kamar mandi kutatap pantulan diriku sendiri di depan kaca. Semuanya masih sama. Bahkan sejak pertama kali aku tiba di sini lima tahun lalu. Ruangan ini, suasana ini dan keraguan ini. Tubuhku tidak terasa sudah mulai menua. Dan meskipun aku sudah nyaman tetapi cepat atau lambat aku memang harus segera meninggalkan asrama, mencari tempat tinggal baru dan memulai kehidupan lain. Maksudku, tidak benar-benar lain. Hanya saja ..., sungguh dulu kupikir satu-satunya kesempatanku meninggalkan asrama adalah karena pernikahan, bukan kebimbangan karena harus membawa ibuku tinggal.

Sejak kecil aku dan Ibu sudah sering tidak cocok dalam banyak hal. Dan ini jugalah yang membuatku dilanda keraguan. Aku menyayangi Ibu hanya saja aku bahkan belum pulih dengan diri sendiri.

Kubiarkan air membasahi kulit kepalaku. Menyembunyikan air mata yang perlahan jatuh membasahi wajah. Entah bagaimana kini aku menyesal tak pernah mendengarkan Ibu. Kalau saja aku tahu maka sudah pasti kulepaskan Ilham sejak dahulu. Yah, ini dosaku. Ibu begini karena keegoisanku, dan masih pantaskah aku menambal rasa bersalah dengan ego baru?

*_*

"Yang baru pulang liburan!" Itulah kata pertama yang Devara berikan setelah hampir tiga hari kami tidak bertemu. Gadis itu berdiri di ambang pintu kamarku lengkap dengan ponsel pintar di tangannya. "Gimana? Seru?" lanjutnya sembari melompat ke atas kasur dan duduk di sampingku.

Aku mematikan pengering rambut dan menjawab, "Ya begitulah."

"Begitu apanya?" Dia kembali bertanya dengan nada sedikit menggoda. "Omong-omong, sudah jadian belum?"

"Jadian?"

Apa yang dia bicarakan?

"Iya. Jadian."

"Siapa?"

Bukannya menjawab Devara malah memutar bola matanya sembari mendengkus kesal. "Ya elo lah, Mbak Maya. Siapa lagi?" Dia mengambil bantal dan memeluknya erat. "Nggak usah berlagak bodoh deh. Semua orang juga tahu kalau Mas Hans suka sama lo. Lagian, kalau gue jadi lo sih, Mbak, daripada meratapi nasib ditinggal begundal macam Ilham, mending sama Mas Hans."

"Ngelantur!" Aku berdiri untuk meletakkan kembali pengering rambut ke meja rias. "Jangan ngawur kalau bicara, Dev. Kalau di dengar orang nggak enak."

"Lha, kenapa? Lagian orang-orang juga sudah tahu kali kalau Mas Hans suka sama lo," ungkapnya.

Dia benar-benar sudah gila.

"Sudah! Daripada kamu makin nggak jelas ..., gimana soal apartemen? Sudah dapat?" tanyaku bersamaan dengan terbukanya bungkus bedak di tangankku yang langsung menyebarkan aroma mawar yang lembut.

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang