Kristina meninggal di usia delapan belas tahun dalam kecelakaan mobil, begitulah yang dikatakan oleh orang-orang di panti selama beberapa hari terakhir. Rumor menyebar dengan sangat cepat, tanpa tahu siapa yang pertama kali menyebarkannya, dan apakah ini berita valid atau tidak. Tidak ada yang bisa memastikannya. Hanya saja itu bukan masalah karena memang bahasan utamanya alih-alih proses kematian Kristina, melainkan bagaimana kematian orang terkasih mampu memporak-porandakan kehidupan seseorang.
Opa Josh kehilangan ingatannya, terjebak dalam realitas palsu yang dia ciptakan sendiri. Dia baahkan mengira kalau ruang perawatannya sekarang adalah kamar tidurnya di rumah, begitupun dengan Bu Anggi yang dia kira sebagai Bi Indah –asisten rumah tangganya. Itulah mengapa dia meminta bunga segar di vas diganti setiap pagi, dan melalui balkon kamarnya, Opa Josh sering melempari para oma dan opa yang sedang beraktivitas di halaman karena mengira bahwa mereka adalah pengganggu. Dia menganggap bahwa mereka terlalu lancang, masuk ke halaman tanpa izin. Hanya saja, kami tak bisa berbuat banyak. Untungnya, oma dan opa lainnya pengertian. Mereka menghindari area dekat kamar Opa Josh untuk berkegiatan. Mengosongkannya. Dan, saat Opa Josh berteriak memakinya lewat jendela, orang-orang memilih tidak menjawab, mengabaikannya sambil berhati-hati kalau ada gelas atau benda lainnya melayang ke arahnya.
"Kamu aman kan, May?" tanya Bu Juwar saat aku mengambil kopi di dapur.
Aku awalnya tidak paham tapi kemudian mengangguk. "Sejauh ini sih aman. Opa masih menganggapku sebagai Kristina."
"Syukurlah!" ujarnya sambil mengelus dada. "Kami semua sangat mencemaskanmu beberapa hari belakangan ini. Meskipun nggak bisa dimungkiri kalau pertolonganmu sangat meringankan beban kerja kami, tapi membiarkanmu seharian bersama pria gila itu ..., membuat kami deg-degan sepanjang waktu."
"Opa baik kok, Bu."
Ya, nyatanya selama kami bersama Opa benar-benar tak pernah bertindak macam-macam, malah tingkahnya sangat menggemaskan. Pernah sewaktu-waktu aku datang agak siang karena harus merawat Oma Nur yang cidera setelah jatuh dari tangga, Opa Josh sudah berdiri di depan pintu, mondar-mandir menungguku.
"Kristina, kenapa kamu baru datang? Apakah kamu baik-baik saja, Nak? Apakah kamu marah? Apakah Papi berbuat kesalahan padamu? Katakan pada Papi, Kristina! Maafkan Papi!" katanya sambil berderai air mata.
Lihatlah, Kristina!
Kau begitu beruntung.
Bukannya aku tidak bersyukur dengan kehidupanku, hanya saja meskipun memiliki dua ayah dalam hidup, tetapi aku bahkan nyaris tak dekat dengan keduanya. Benar, aku dan Bapak memang sering bercerita banyak hal tetapi ..., ada jarak yang sulit digambarkan di antara kami –yang sengaja dibuat oleh Bapak sendiri. Sementara ayahku yang seorang prajurit terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Nyaris tak ada waktu untuk keluarga. Pun waktunya sudah habis untuk mendidik adiknya yang tak lain dan tak bukan ibu kandungku sendiri.
Opa Josh memelukku, tersedu-sedu.
Aku menepuk bahunya, menenangkan lalu mengajaknya kembali ke kamar. "Papi sudah makan?"
Dia menggeleng. "Papi menunggumu."
"Lho, Papi kan tahu kalau harus minum obat," kataku. "Jadi, sekarang Papi makan ya."
"Iya, Kristina."
Kusuapi dia dengan nasi dan sup yang sudah dingin. Maklum saja, harusnya makanan ini di makan dua jam lalu. Entah mengapa ini membuatku semakin merasa bersalah, seolah-olah pria tua ini menjadi sepenuhnya tanggung jawabku. Perasaan yang sama engan yang kurasakan belasan tahun lalu, saat aku secara bergantian dengan Zahra berkewajiban mengurus mendiang Eyang Kakung yang terkena strok. Eyang tidak bisa berjalan waktu itu, malah sama sekali tak bisa bergerak. Alhasil, sepenuhnya aktivitas dilakukan di atas kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...