Hancur.
Lebur.
Tidak tersisa.
Barangkali adalah kata-kata paling tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu. Bukan hanya jatuh tertimpa tangga, aku juga terperosok ke dalam jurang, terguling-guling sebelum akhirnya jatuh menghantam batu besar. Sekujur tubuhku berdarah, terluka parah sampai-sampai kedua tangan dan kakiku harus diamputasi.
Menerima fakta bahwa Ilham menghamili Zahra sudah cukup menyakitkan, tapi ditinggal menikah diam-diam saat keduanya berhutang penjelasan adalah perkara lain. Seolah kehadiranku di sini tidak berarti apa-apa, seolah ikatan persaudaraan kami selama dua puluh tujuh tahun terakhir adalah kepalsuan, sementara jalinan kasih yang selama ini aku dan Ilham perjuangan tidaklah lebih dari sekadar kesia-siaan. Maksudku, kenapa? Kenapa mereka tega memperlakukanku sekejam ini? Pun keempat orang tuaku sendiri ..., mereka hanya memikirkan ..., ya aku paham bahwa keluarga dan nama baiknya penting tapi ..., bukan begini caranya!
Aku sendiri tidak ingat sudah berapa lama berdiam diri di kamar, yang jelas satu-satunya hal di hidupku saat itu hanyalah menangis, menangis dan menangis. Sama seperti drama dalam serial remaja, aku meringkuk di atas kasur tanpa mau diajak komunikasi oleh siapapun. Padahal sebagai dokter –meskipun bukan ahli jiwa –aku paham betul jika itu bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan karena hanya akan membuatku tenggelam semakin dalam. Baru kali itu aku benar-benar bisa merasakan sekujur tubuhku perlahan mati di makan kesedihan.
Pertanyaan seperti 'untuk apa aku hidup', 'bisakah aku hidup setelah ini?' atau 'siapa lagi yang bisa kupercaya setelah ini?' terus datang dan berdesak-desakan di dalam kepala, membentuk asumsi dan bayangan liar yang terkadang juga berlebihan. Hanya saja, memang itulah yang kurasakan.
"May, buka mulutmu. Makan, Nak. Sesuap saja."
Bunda tidak pernah absen membawakanku aneka makanan, mulai dari bubur hingga sate ayam kesukaanku. Akan tetapi, tak ada satupun yang mampu menggugah selera makanku. Malah melihatnya membuatku mual. Bahkan kalau pun ada sesuap yang berhasil lolos akan langsung keluar detik berikutnya, seolah ada dorongan dari dalam diriku sendiri untuk menolak makanan, padahal di sisi lain perutku amat keroncongan minta diisi.
*_*
Sebagai seorang dokter tentu aku tahu betapa menyakitkannya orang menghadapi kematian di ujung tali gantungan, setidaknya secara teori. Bagaimana secara perlahan arteri karotis menutup, pecahnya pembuluh kapiler serta menurunnya detak jantung dan tekanan darah sebelum akhirnya benar-benar kehilangan napas setelah trakea hancur. Termasuk adanya kemungkinan bahwa batang leher gagal terputus dan menyebabkan penderitaan lebih panjang serta menyakitkan.
Aku ingat betul ketika masih pendidikan dulu pernah secara langsung menangani pasien dengan kondisi gagal bunuh diri.
Namun entah dorongan setan apa, aku justru hendak melakukan hal yang sama. Maksudku, ini adalah cara termudah untuk dilakukan sekarang. Pun aku dulu ikut pramuka sehingga paham betul simpul tali-temali yang mampu mencabut nyawaku dengan efektif –sekalipun hanya mengandalkan selembar kain jarik di dalam lemari.
Sebenarnya, akan lebih mudah jika aku membeli racun atau semacamnya tetapi tentu akan memakan waktu lebih lama. Aku sudah tak kuat. Rasa sakit sudah diubun-ubun.
Mumpung rumah sedang sepi. Semua orang pergi bekerja dan sekolah, hanya ada Ibu yang bahkan tak berani keluar kamar. Sama sepertiku, Ibu juga tak kuat menahan malu.
Bukankah ini lucu? Ibuku yang hampir setiap hari keluar rumah untuk menggosipi orang lain kini sangat ketakutan jika digunakan sebagai bahan gunjingan oleh para tetangga.
Aku menyeret meja kayu ke tengah ruangan kemudian menaikinya untuk memasang sewek –aku sangat beruntung karena kamar ini sebenarnya belum sepenuhnya selesai direnovasi. Tidak ada plafon sehingga rangka atap jelas terlihat. Ada kayu besar melintang di tengah ruangan yang digunakan sebagai tempat lampu digantung. Dan karena tidak begitu tinggi, aku bisa dengan mudah memasangnya. Setelah memastikan bahwa sewek terpasang cukup kuat, aku tak langsung beraksi. Kuputuskan untuk turun dan menulis catatan bunuh diri.
Bukankah semua orang yang hendak bunuh diri memang harus membuat surat? Paling tidak supaya tak ada yang akan dituduh dan dijadikan tersangka saat jenazah ditemukan.
Untuk orang tuaku,
Baru juga sebaris kalimat, aku sudah menitikkan air mata. Membayangan soal mereka yang menangisi kematianku ..., apa yang kamu pikirkan, Maya?
Tidak! Tidak! Kamu sudah membulatkan tekat.
Buru-buru kuhapus air mata, sebelum akhirnya kembali membunuhkan tulisan di atasnya.
Tolong jangan salahkan siapapun. Aku mencintai kalian.
Aku menggulung surat tersebut dan meletakkannya di atas kasur, tetapi belum sempat aku pergi tiba-tiba saja ponselku berdering. Karena merasa tidak enak aku pun menghampiri benda tersebut untuk mengeceknya terlebih dahulu. Setidaknya sebelum mati aku harus melakukan hal-hal yang tak akan kusesali. Tentu aku enggan menjadi arwah gentayangan perkara tidak menangkat telepon.
Hanya saja, tak sesuai harapan di sana justru tertulis nomor asing. Aku pun segera menghela napas dan mematikannya. Lalu, kulempar ponsel itu ke atas ranjang sebelum akhirnya menuju ke tali gantungan tapi untuk kedua kalinya panggilan masuk kembali datang. Mungkinkah ini pertanda supaya aku ..., tidak melanjutkan kematian? Tapi, bukankah aku sudah bertekat? Ah, ada apa denganmu, Maya? Kenapa kau begitu egois dan plin-plan?
Baiklah! Baiklah!
Aku kembali untuk mengangkat panggilan. Hanya saja, belum sempat mulutku terbuka tiba-tiba saja sebuah suara dari orang yang amat kukenali terdengar di seberang sana.
"Halo, Kristina?"
Mungkinkah ini ..., "Opa?"
"Kamu di mana, Sayang? Papi kangen banget sama kamu, Kristina! Kenapa kamu tidak datang. Kamu sudah nggak sayang lagi ya sama Papi? Kamu nggak akan ninggalin Papi, kan? Masa Hans bilang kamu sudah mati, nggak kan? Kamu hidup kan Kristina? Iya, kan?"
Pertanyaan Opa Josh seolah menjadi tamparan bagiku. Ya, harusnya aku tahu. Beliau adalah gambaran jelas seorang orang tua yang kehilangan anaknya. Lalu, aku ....
Mataku memanas.
"Kristina, jawab! Kamu jangan diam saja, Sayang!"
Mendadak, tubuhku lemas. Aku bahkan tak sanggup berdiri dan jatuh di pinggiran kasur. Dan, terisak! Benar-benar terisak. Tapi, kenapa?
"Sayang? Kristina kok nangis? Kenapa?" tanya Opa Josh lagi. "Papi ada salah sama kamu ya? Papi jahat ya, Kristina? Maafin Papi ya, Nak."
Aku menggeleng, padahal jelas Opa Josh tak akan bisa melihatnya. "Nggak, Pi."
"Nggak apa?"
"Aku nggak apa-apa."
"Tapi kok nangis?"
"Kristina lagi pilek saja."
"Jaga kesehatan ya, Nak. Pokoknya anak Papi harus sehat. Kristina nggak boleh sakit. Kristina nggak boleh kenapa-kenapa. Kristina harus hidup. Jangan mati ya, Sayang. Papi nggak bisa hidup tanpa kamu."
Hai, bagaimana menurut kalian sejauh ini? Apakah menarik? Atau, punya kritik dan saran untuk penulis? Katakan saja ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...