54. Benang Merah Cinta

32 8 0
                                    


Meskipun tidak berjalan sesuai rencana tetapi kepulangan kali ini justru membuatku merasa lega. Bahkan aku sudah bisa tersenyum lebar di sepanjang perjalanan, seolah-olah beban besar yang selama ini menumpuk di dada terlepas satu per satu.

Adalah malam sebelum kepulanganku. Ketika aku memutuskan untuk mengantarkan makan malam sekaligus berpamitan kepada Zahra. Kubuatkan dia sup ikan serta dadar jagung kesukaannya yang langsung dia santap dengan penuh kebahagiaan.

"Aku pasti bakal kangen sama masakan Mbak Maya," katanya saat aku suapi. "Kalau aku lahiran nanti, Mbak pulang kan?"

"Mbak nggak bisa janji, Za." Ucapanku seketika membuat bibir Zahra cemberut. "Tapi, akan Mbak usahakan."

"Begitu dong!"

Meskipun belum sepenuhnya kembali menjadi adikku yang cerita tetapi perlahan Zahra semakin sehat. Paling tidak dia sudah mau memperjuangkan anaknya untuk tetap hidup. Akan tetapi, satu yang masih mengganjal di benakku. Ilham.

Awan hitam menutupnya terlalu pekat sampai-sampai Ilham menjadi orang lain di mataku. Dia menjadi sangat pendiam, dan bahkan nyaris tidak pernah muncul. Aku tahu bahwa setiap kali aku datang, dia akan bersembunyi, menghindariku.

Namun, mau sampai kapan dia akan terus begini? Bukankah sekarang kami menjadi keluarga? Dia suami Zahra. Dia adikku sekarang. Meskipun –tentu saja –aku tak akan bisa menghilangkan kecanggungan di antara kami tapi paling tidak, semua harus selesai.

Aku harus mengakhiri semuanya.

Kami sudah berakhir sekarang. Dan untuk kebaikan semua orang, aku harus mengakhirinya. Aku lah yang akan memutus benang merah itu.

Tepat setelah Zahra terlelap, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang melainkan menghampiri Ilham yang sedang mengerjakan sesuatu dengan truk miliknya.

"May?" Dia buru-buru keluar dari kolong truk saat menyadari kedatanganku.

"Kamu sibuk?"

"Eh? Nggak kok," jawabnya gugup. "Kenapa?

"Ada yang mau aku bicarakan."

"Kalau begitu tunggu sebentar. Aku mau cuci tangan dulu."

Sementara dia berlari ke sumur di belakang rumah, aku memutuskan untuk duduk di kursi bambu yang ada di teras samping. Tempat ini dulunya adalah lokasi paling sering kami bercengkrama. Bahkan di tempat inilah aku dan Ilham muda sering belajar bersama. Akan tetapi, nostalgiaku segera berakhir ketika aku melihatnya muncul dari kejauhan.

"Ada apa?" tanyanya.

"Duduk dulu!" kataku sembari mengangkat nampan berisi piring kotor dari sisi kursi. Memberinya ruang. "Kamu pasti tahu pertanyaan apa yang akan aku ajukan."

Ilham mengangguk. "Aku minta maaf, May."

"Apa gunanya, Ham?"

"Hah?" Dia menyerngit. "Maksud kamu?"

Aku menggeleng sekaligus tertawa kecil. "Apa gunanya kamu minta maaf sekarang? Semuanya sudah telanjur terjadi, Ham?"

"May, aku juga nggak tahu kalau bakal kayak begini." Mata Ilham berkaca-kaca tapi aku tahu apakah itu tulus atau tidak. Aku bahkan tidak pernah benar-benar mengenalinya. "Semua terjadi begitu cepat, May."

"Kamu sudah sering berhubungan dengan Zahra sebelumnya?"

Dia mengangkat kepala dan menggeleng tegas. "Hanya sekali, May. Aku berani bersumpah. Itu pun nggak sengaja. Kami saat itu terjebak hujan dan ..., semua terjadi begitu saja, May."

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang