Sejak bekerja dengan Dokter Wahyu, sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang atasanku tersebut. Bahkan seingatku memang beliau cukup tertutup jika menyangkut masalah pribadinya. Bukan salah, malah itu sangat bagus terlebih untukku yang tak terlalu ingin tahu urusan orang lain. Hanya saja sekarang aku sangat menyesal atas ke-tidak-peka-anku. Apalagi setelah aku tahu bahwa di sini hanya aku lah yang tidak tahu apa-apa.
"Lha, lo baru tahu kalau Opa Josh itu sepupu dari istrinya Dokter Wahyu?" Pertanyaan Devara hanya kubalas dengan gelengan kecil. "Semua orang di panti sudah ngomongin hal ini sejak pertama kali Opa Josh datang. Mereka diam-diam protes karena ..., kelakuan Opa Josh saat itu bikin geleng-geleng tetapi Dokter Wahyu tetap mempertahankannya. Alasannya, selain mereka berteman juga ikatan keluarga. Lagian, lo sih! Kenapa nggak tanya-tanya dulu ke gue."
"Terus, gimana dong?"
"Gimana apanya?"
Sambil memeluk guling, aku menatap langit-langit kamar. "Aku merasa nggak enak ke Pak Johan, Dev."
"Kalau masalah itu, sudah! Biarin saja!" katanya dengan santai. "Mas Hans nggak akan tersinggung. Dia sudah biasa kok. Malah, kadang gue sama Hasyim sering godain dia perkara ..., ya lo tahu kan ..., gue sama Hasyim mau nikah. Ya dibanding dia umur kami tentu jauh lebih muda. Tapi yah, katanya makin lama single semakin bodoh amat juga mereka dengan omongan orang."
Untuk kalimat terakhir Devara, aku setuju. Karena pada awal-awal masa dewasa mudaku sangat sering kami –aku dan mantan pacarku –mendapatkan pertanyaan soal kapan kami akan melangsungkan pernikahan, terlebih sama-sama bisa dikatakan mapan. Itu sangat menganggu, namun seiring waktu segalanya terasa seperti pertanyaan kosong, terlebih kini setelah aku benar-benar kehilangan cahaya. Tanpa harapan untuk pernikahan, pertanyaan ini memang menyakitkan tetapi juga menguatkan. Semacam sebuah senjata.
"Kalau misalkan lo suka sama dia, nggak apa kok, Mbak!" lanjut Devara tiba-tiba.
Aku menoleh ke samping kanan, tempat dia berbaring dengan tubuh ditutup selimut tebal bergambar Astro Boy. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang berjajar rapi, diiringi kedipan manja. "Jangan ngawur!" tegasku.
"Lho? Kenapa?" Kedua alis Devara menyatu, heran. "Dia ganteng, Mbak May. Jauh kalau dibanding sama Ilham. Tapi, itu kalau menurut gue. Nggak tahu kalau lo. Kan tipe lo yang antik-antik ya."
"Antik? Kamu kira barang?"
"Yee! Nggak terima!" Devara memiringkan badannya. "Dengar ya, Mbak May! Jangankan nyokap lo, gue saja sebagai sohib lo sebenarnya nggak pernah suka sama Ilham."
"Kenapa?"
"Dia mata brengsek, mirip sama Andi!"
"Tahu dari?"
"Auranya juga sudah bica baca."
"Memangnya, kamu dukun?"
Andi Yuliadi adalah mantan pacar Devara sebelum Hasyim. Aku ingat betul, kami pernah melabrak cowok itu di sebuah restoran cepat saji di bandara setelah mengetahui bahwa pria itu akan berlibur bersama selingkuhannya yang adalah anak di bawah umur. Kalau saja saat itu tidak diamankan oleh petugas, Andi jelas akan jadi bubur. Barangkali, seandainya bukan Zahra, aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Devara lakukan. Jujur, itu penyesalan terbesarku sekarang.
"Terus, kenapa kamu nggak memperingatkanku?"
Devara memutar bola matanya malas. "Gue hanya mencoba menghargai keputusan lo. Lagian, gue juga nggak mau tiba-tiba nuduh orang tanpa bukti. Terlebih, lo kan terlalu memuja itu makhluk."
"Makhluk? Dia manusia."
"Memangnya manusia bukan makhluk?"
Devara memang pandai bicara. Tidak akan ada orang menang berdebat dengannya. Namun, itulah kelebihan yang perlu diapresiasi darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...