Tercium kuat aroma ketidakcocokan di antara Pak Johan dengan keluarga besar ibunya. Terlebih karena alih-alih berfoto dengan kerabat dan sepuru-sepupunya, Pak Johan justru bergabung bersama aku dan Ririn sebagai perwakilan teman dekat calon mempelai. Malah, satu-satunya foto yang diambil dan memperlihatkan potret dirinya dengan sang ibu ialah saat kami bersama-sama menemani Devara di penghujung acara, itupun keduanya tidak bersebelahan, seolah-olah tidak saling mengenal atau lebih tepatnya Pak Johan memberikan ruang di antara dirinya dengan Umi di mata para hadirin.
Aku tidak tahu seberapa buruk hubungan di dalam keluarga tersebut, terlebih bukan urusanku juga, tetapi melihat Pak Johan membuatku merasa ikut bersedih seakan-akan aku benar adik perempuan yang memiliki koneksi dengan kakaknya.
"Nggak mau ngobrol dulu sama Umi?" Pertanyaan itu kuajukan saat mengantarnya ke halaman, beberapa jam setelah acara rampung. "Mumpung di sini."
Pak Johan menggeleng. "Lain kali saja. Beliau sedang sibuk sekarang."
Aku tidak bisa menghakimi siapapun, karena memang tamu terus datang sejak pagi. Sebagai tuan rumah, Umi dan Abi tentu tidak boleh ketinggalan. Keduanya merupakan bintang lain setelah pengantin.
"Dokter Maya apakah akan menginap di sini nanti?"
"Tidak, Dok."
"Kenapa?"
"Nggak enak. Ada banyak ustaz dan ustazah di sini. Lagipula, kamarnya juga terbatas dan wali Devara akan datang nanti sore."
Kami berjalan menuju parkiran yang masih ramai. Aku bisa melihat mobil beliau terparkir di kejauhan, terhimpit di antara banyaknya kendaraan lainnya. "Kalau begitu ..., besok ke sini jam berapa?"
"Rencananya sebelum jam enam. Karena kan ijab kabulnya sekitar jam setengah sembilan. Kalau Dokter Johan?"
"Belum tahu," jawabnya.
"Lho? Kok begitu?"
Pak Johan tersenyum lebar, menampilkan lesung pipinya yang manis. "Tadinya, saya pikir mau mengajak Anda berangkat bersama, itupun kalau Anda bersedia."
Tunggu! Apakah ini ajakan terselubung?
*_*
Bukan hanya Devara, aku pun merasakan debaran jantung yang luar biasa semalaman itu hingga tidak bisa terlelap, saking tidak sabarnya menanti pagi.
Di dalam kamar tidurku yang lenggang dan dihiasi pemandangan kota yang sibuk di malam hari melalui kaca jendela, aku merasa seperti orang gila. Mungkinkah aku sebenarnya .... Tidak! Tidak! Tidak mungkin secepat ini aku melemparkan perasaan pada orang baru, bukan? Ini pasti karena aku ikut merasakan luapan kegembiraan menjelang pernikahan kedua sahabatku! Bukan karena perkara lain!
Kutepuk-tepuk wajahku dengan tujuan menyadarkan diri sendiri dari lamunan tak masuk akal tetapi semua justru makin terasa. Jantungku macam genderang, membuat perutku macam dipilin dengan kuat. Apa-apaan ini, Tuhan?
Kuraih ponsel pintar yang tergeletak di atas kasur, lalu masuk ke aplikasi pengirim pesan. Nomor Devara terlihat daring, menandakan bahwa gadis itu pasti belum tidur.
Maya:
Dev.
Tidak lama, pesan dibalas.
Devara:
Kenapa, Mbak May?
Belum tidur lo?
Maya:
Kamu sendiri?
Devara:
Insomnia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...