2. Religius

154 6 0
                                    

Sembari menunggu, aku memutuskan untuk berbelanja dan membeli beberapa bahan makanan. Terlebih isi kulkas di kamarku sudah sangat menipis, hanya ada beberapa buah apel, telur dan beberapa liter beras saja. Bukannya aku pelit, hanya saja aku memang sangat jarang memasak makanan sendiri. Terlebih biasanya kami sarapan hingga makan malam di panti, bersama dengan para Oma dan Opa. Tidak ada waktu untuk masak, dan tidak butuh-butuh banget juga.

"Mau titip barang, nggak?"

Devara yang kini duduk di depan televisi menjawab, "Sayuran segar sama buah-buahan, seperti biasa."

"Ada lagi?"

Gadis itu menimbang sebentar, lalu menggeleng.

Dia sedang ngide tidak akan makan apapun selain buah dan sayuran segar kecuali aku memaksanya. Bahkan nasi goreng tadi pagi saja tidak akan pernah masuk ke mulutnya kalau bukan karena aku mengomel akibat dia pingsan semalam. Benar! Kalian tidak salah dengar. Dia jatuh pingsan karena kelaparan. Badannya benar-benar sangat kurus, meskipun sebenarnya dia selalu kurus. Sebagai teman, tentu aku khawatir. Namun sebagai dokter, aku lebih ketakutan. Dia jelas butuh bantuan professional. Aku yakin kalau ada yang salah dengan kejiwaannya.

"Aku akan coba bujuk dia." Begitulah Hasyim, tunangannya berkata saat aku menelepon semalam.

Sambil mengenakan kaos merah muda bergambar Astro Boy dan celana pendek selutut, aku mengambil sepeda motorku di parkiran asrama. Motor yang sebenarnya hampir tak pernah aku naiki. Devara lah yang biasa menggunakannya untuk berkencan. Maklum saja, aku sangat jarang keluar. Pun kalau aku ingin pergi, aku biasanya akan naik kendaraan umum. Itu lebih menyenangkan meskipun tentu makan banyak waktu. Hanya saja, sedikit demi sedikit, kota ini mulai mengembangkan transportasi umumnya.

Panas-panasan di atas motor, menurutku jauh lebih menyiksa daripada duduk di dalam transportasi umum yang berpendingin.

Minimarket terdekat dari asrama hanya berjarak dua blok saja. Aku membeli sekarung kecil beras, air galon dan tidak lupa beraneka sayur, buah serta daging-dagingan. Aku berencana mengajak Ilham memanggang daging nanti malam. Pesta? Ilham tidak terlalu suka tapi dia akan memakan apapun yang aku masak. Lagian, Devara suka pasta dan akan kupaksa dia makan dengan itu.

Sambil mendorong kereta barang, aku mengamati setiap sisi rak di minimarket dengan penuh pertimbangaan. Seharusnya, aku memang perlu membuat catatan belanja. Aku yakin, saat pulang nanti pasti akan menyesal karena baru sadar kalau telah membeli barang yang tidak perlu. Atau lebih buruk lagi, aku melupakan barang yang seharusnya dibeli.

"Dokter Maya?"

Aku menoleh saat seseorang di balik lorong memanggil namaku. Sembari mendongak melampaui rak, aku bisa melihat seorang perempuan berjilbab besar tersenyum kepadaku, di sebelahnya terdapat gadis muda berkerudung pasmina yang juga melambaikan tangan.

"Umi?"

Buru-buru aku mendorong kereta penuh barang milikku menuju ujung lorong, begitu juga dengan mereka. Kami bersalaman, karena tak menyangka akan bertemu.

"Kamu apa kabar?" tanya Umi Sara.

"Alhamdulillah baik. Umi sendiri?"

Perempuan paruh baya berkulit terang itu malah tertawa, menandakan bahwa dia baik-baik saja. "Umi sama Ima lagi mau bikin kue. Besok mau ada pengajian di rumah. Kamu datang ya? Umi kemarin sudah bilang ke Deva buat ajak kamu. Tapi, kalau nggak ngasih tahu sendiri kok kurang puas."

"Heh? Devara belum bilang apa-apa ke saya, Mi."

"Lho? Masa? Padahal Umi sudah bilang dari minggu lalu lho."

"Mungkin Kak Deva lupa, atau belum sempat bilang. Lagian, acaranya kan masih besok," kata Fatima. "Datang ya, Mbak. Yang isi ceramah Ustaz Hamdan lho. Kata Kak Deva, Mbak Maya suka nonton ceramah Ustaz Hamdan di youtube. Kapan lagi ketemu idola."

Heh?

Sejak kapan aku suka nonton ceramah? Apalagi Ustaz Hamdan ..., siapa itu? Dasar bocah sialan! Dia selalu saja bertingkah aneh. Bisa-bisanya dia bilang aku suka nonton ceramah di depan calon mertuanya? Lagian, buat apa? Biar kelihatan punya teman agamis?

Devara yang bar-bar akan segera menjadi menantu dari penceramah kondang. Jadi, apakah ini usahanya membangun citra bahwa selama ini berada di lingkungan agamis? Tapi, kenapa aku? Padahal di asrama banyak yang agamis seperti Dina, Citra atau Pia. Mereka semua religus. Minusnya, mereka bukan sahabatnya.

Risiko jadi sahabat.

Secara teknis, aku bukan hanya sahabat dari Devara saja tetapi juga calon suaminya. Hasyim adalah mantan pacar dari teman satu kosku saat masih kuliah. Itulah kenapa kami sudah saling kenal sejak sepuluh tahun lalu. Bahkan alasan mengapa Devara dan aku bersahabat juga karena itu. Hasyim menjadi penghubung keabraban kami, selain karena pekerjaan.

*_*

"Kamu kan tahu kalau Ilham mau datang," kataku sambil menata bahan makanan ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar, sementara Devara tiduran di atas ranjangku. "Masa iya dia datang jauh-jauh ke sini malah aku ajak nonton ceramah?"

"Kenapa? Bukannya bagus?" jawabnya sambil cekikikan. "Biar kalian kena siraman rohani. Biar makin islami kayak nama lo. Ma-ya-Is-lam-Na-dhi-ra."

Aku berbalik, lalu melemparkan sebungkus permen kacang kepadanya. "Mulutmu, Dev!"

Dia malah semakin keras tertawa, lalu mengambil permen kacang itu. "Habisnya, gue bingung. Lo kan tahu sendiri kalau gue selalu akward setiap kali ngobrol sama keluarganya Hasyim."

"Tapi, kenapa namaku?"

"Memangnya siapa lagi? Masa iya nama gue sendiri? Apa nggak bingung nantinya kalau mereka nanya, 'ceramah mana yang kamu suka?'. Bisa mati berdiri gue, Mbak May."

"Terus? Sekarang gimana nasibku kalau mereka tanya begitu?"

"Lo kan pandai ngeles. Toh, lo kan nggak pernah kehabisan topik kalau sama keluarganya Hasyim. Sejauh ini, selalu nyambung, kan?"

"Bocah sialan!"

"Omongan lo kayak orang tua saja, Mbak May."

"Kan aku memang tua. Setidaknya, aku lebih tua dari kamu."

"Ageisme."

"Eish!"

Dia benar-benar terlibat mirip Zahra sekarang.

Omong-omong Zahra, semalam dia menelepon dan menanyakan rencana kedatangan Ilham padaku. Dia sepertinya kecewa karena pada akhirnya, aku tidak pulang lagi. Dia bahkan bersikeras untuk ikut tapi aku melarangnya. Maksudku, tugasnya di sekolah sudah banyak, kan? Toh, sekolah tempatnya bekerja juga belum liburan. Baru minggu depan anak-anak libur. Sementara kalau diundur, Ilham lah yang tak bisa dengan pekerjaannya.

Apakah ini artinya aku lebih memilih pacar daripada keluarga? Tentu saja tidak bisa dibilang begitu. Keduanya sangat berbeda. Keluarga ya keluarga. Pacar ya pacar. Ilham baru bisa dibandingkan dengan orang tua dan adik-adikku saat dia sudah resmi menjadi keluargaku, yaitu saat kami menikah nanti.

Entah kapan saat itu tiba.

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang