Pada akhirnya, kami baru benar-benar sampai di rumah pada pukul setengah tiga sore. Akan tetapi, karena matahari masih terik jadi tidak begitu terasa.
Sama seperti yang kulihat di foto dalam album milik Opa Josh dulu, kediaman beliau benar-benar menakjubkan. Rumah itu berada di komplek perumahan dengan kebun dan pepohonan tinggi di masing-masing halamannya, serta rumah-rumah besar dengan design serupa yang menjorok ke dalam. Sangat hijau dan asri meskipun terletak di tengah kota.
Benar, kalau saja Opa Josh cukup stabil tentu rumah ini cocok untuknya menikmati hari tua. Bermain dengan cucu-cucunya, berolahraga atau semacamnya. Toh, meskipun tak memiliki gerbang lingkungan ini sangat aman. Terlebih dengan banyaknya penjaga yang bertugas.
"Ini rumah kita, Sayang!" ujar Opa Josh saat kami turun dari mobil. "Dulu saat kecil, kamu suka berlarian di sana. Papi juga masih tidak melepaskan ayunan tempatmu bermain di sana," lanjutnya sambil menunjuk ke ayunan kembar di sisi lain taman, dekat dengan air mancur. "Sengaja, biar kalau kamu pulang bisa main di sana lagi."
Oh, astaga!
Ini menyentuh hatiku.
Pak Johan yang mengantar mobil ke garasi tidak lama kembali, akan tetapi beliau muncul dari dalam rumah. "Silakan!" katanya.
Sebelum aku masuk, seekor anjing Labrador Retriever yang cantik mendadak muncul dari belakang Pak Johan. Anjing itu mendekati Opa Josh, seolah ingin menyampaikan rindu.
"Oh, Bayi Kecil!" ujar Opa Josh sambil berjongkok, dan mengelus punggung si anjing. "Apa kamu kangen Papi? Iya? Oh, Sayang!"
"Namanya Lisa," jelas Pak Johan. "Dokter tidak takut anjing, kan?"
Aku menggeleng, kubiarkan anjing itu kemudian menghampiriku. Dia sangat ramah dan cantik. Ternyata, Lisa tidak sendirian tetapi ada lima anaknya yang tengah bermain di ruang tamu.
Seolah ingin memamerkan anak-anaknya, Lisa mengigit salah masing-masing anak itu dan meletakkannya di sampingku.
"Dia sangat ramah!" kata Opa Josh. "Lisa dibeli oleh adikmu beberapa tahun lalu untuk menggantikan Rodrigo yang mati karena kanker. Kamu tidak kecewa, kan?"
Aku menoleh ke arah Pak Johan yang memberi isyarat lewat matanya. Jelas bahwa Rodrigo di sini merupakan anjing kesayangan Kristina. "Tidak, Pi. Aku senang."
"Syukurlah." Opa Josh menghela napas panjang. "Kalau begitu, Papi ke belakang dulu ya? Kamu main saja dulu dengan Lisa."
"Mau aku antar?"
"Tidak usah, Kristina. Kamu juga lelah."
Tumben.
Namun, bermain dengan Lisa bukan hal buruk. Toh, dia sangat-sangat menggemaskan. Di leher masing-masing anak anjing itu terdapat nama mereka. Molly, Miyo, Miko, Mimi dan Matt.
"Dok, saya tinggal sebentar ya?" ujar Pak Johan.
Aku mengangguk. Lalu, kembali mengelus punggung bayi-bayi anjing itu.
*_*
Meskipun besar tetapi tidak ada banyak barang di rumah ini, malah kebanyakan adalah barang-barang lama. Meskipun begitu sama sekali tidak buruk, malah jauh lebih menarik.
Di beberapa sisi di ruang tamu, aku melihat foto masa kecil Kristina terpajang. Malah, bisa dikatakan hanya foto dialah yang ada di sana. Mereka seolah memang sengaja mengabadikannya. Bahkan mereka tidak punya foto lain, semacam foto keluarga Pak Johan sendiri, misalnya. Ya, aku tahu bahwa Kristina adalah kakaknya hanya saja foto istri dan anak-anaknya –atau barangkali di pajang di sisi lain rumah.
Aku paham bahwa pikiranku tak pantas dilanjutkan. Terlalu julit dan bisa-bisa, aku menjadi macam ibuku. Terlalu sibuk membicarakan orang asing tanpa pernah sadar pada kekurangan diri.
Lamunanku buyar saat Lisa tiba-tiba menggonggong sambil menunjukkan boneka tulang padaku. Dia ingin bermain. Buru-buru kuuterima, lalu kulemparkan boneka itu ke ruangan lebar –yang bisa dikatakan ruang keluarga. Segera anjing itu berlari untuk menangkapnya.
Sebenarnya dari dulu aku suka hewan peliharaan tetapi ibuku tidak pernah suka kucing. Maksudku, sangat tidak mungkin kan aku memelihara anjing di rumah keluargaku? Cari mati, namanya.
Lisa lalu kembali, menyerahkan boneka itu padaku. Maka, kulempar kembali boneka itu. Namun, kali ini kuikuti langkahnya hingga kemudian sampailah aku ke ruangan lain. . Tepat disebelah ruang keluarga. Sebenarnya, ini lebih cocok disebut perpustakaan dengan banyaknya buku yang tersimpan dalam rak besar di setiap sisi dinding. Hanya saja, perhatianku fokus pada deretan foto yang tergantung di salah satu surutnya. Foto kelulusan Pak Johan dari universitas, di sebelahnya ada Opa Josh dan ..., Dokter Wahyu? Dan, tulisannya ...?
Oh, astaga?
Benarkah?
"Dokter Maya?"
Suara Pak Johan mengalihkan perhatianku. Beliau berdiri di ujung anak tangga, tetapi kini dengan rambut basah serta mengenakan celana cokelat selutut dan kaos biru gelap. Baru selesai mandi, tampaknya.
"Pak Johan?" Aku menunjuk foto di bingkai hitam di sebelahku. "Anda dokter?" lanjutku.
Pak Johan malu-malu mengangguk. "Benar."
Ya Tuhan!
Betapa bodohnya aku?
"Kenapa nggak bilang?" Entah kenapa kalimat itu mendadak meluncur dari mulutku.
Pak Johan menjawab, "Dokter Maya tidak tanya."
Benar juga, tapi .... Aku tidak bisa menyembunyikan rasa maluku. Maksudku .... Aku bahkan tak tahu kenapa perasaan ini muncul begitu saja. Beliau bahkan dokter spesialis?
"Pak ..., eh, Dokter Johan ..., saya ...."
"Jangan! Jangan! Jangan panggil begitu," cegahnya. "Anda cukup panggil saya ...."
"Kalian ini kenapa?" Opa Josh yang muncul menghancurkan lamunan kami. "Kristina Sayang, kenapa kamu memanggil adikmu begitu? Meskipun dia sudah jadi dokter tetapi dia tetap adikmu. Dia Hans Kecilmu. Panggil dia dengan namanya. Dan kamu, Hans, sopanlah pada Kristina. Panggil dia dengan kakak. Lama tidak bertemu membuat kalian terlalu kaku."
*_*
Ketika kami sampai di panti, matahari benar-benar sudah lenyap dari bumi. Opa Josh menggandeng tanganku, seolah ketakutan saat hendak memasuki lobi.
Namun, kupegang lengannya erat. Mencoba menguatkan. "Papi tenang. Semua akan baik-baik saja."
Para lansia lain tengah berkumpul di ruang tengah saat kami datang. Pada awalnya, semua orang terdiam, tidak da satupun yang buka suara seakan takut berbuat kesalahan. Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah menatap Papi penuh tanda tanya. Akan tetapi, begitu Papi tersenyum suasana segera mencair.
Kubantu Papi bersalaman dengan semua orang, untungnya lansia lain segera menerimanya. Bahkan menyakan banarnya, mendoakan kesembuhannya dan mengajaknya menonton televisi bersama, meskipun tentu ditolak karena Opa Josh harus beristirahat.
Sementara aku langsung pulang, mandi dan menemui Devara. Kuceritakan semua padanya, tetapi dia malah tertawa. "Masa lo nggak tahu kalau Mas Hans dokter?"
Aku menggeleng. "Nggak. Kamu nggak pernah cerita."
"Pernah!" Dia mengelak. "Gue pernah cerita, lo saja nggak menyimak. Terus, ponsel lo gimana? Ketemu?"
Ya Tuhan!
Kutepuk mukaku sendiri dengan kesal, lalu merebahkan tubuh ke atas kasur. "Aku lupa. Sialan!"
Devara malah tertawa, lalu melemparkan bantal ke mukaku. "Ya sudah, gue mau pergi dulu. Mau ada acara. Lo kalau mau, nyusul saja ortu lo ke rumah Umi."
Aku menggeleng. "Nggak deh. Capek."
"Habis jalan-jalan malah capek," cibirnya.
Aku balas melemparkan bantal padanya. "Lo nggak merasakan ya, Dev."
"Tapi, Mas Hans ganteng ya? Sudah ganteng, mapan dan cinta keluarga. Hanya saja jangan deh. Nanti ribet."
Dasar Devara gila!
Aku tahu kalau hubunganku dan Ilham kandas dengan menyedihkan tapi tidak mungkin aku menggoda suami orang. Sesempurna apapun Pak Johan. Sebab, aku paham rasanya dihancurkan, dicampakan dan dibuat merasa tak berdaya oleh sebuah pengkhianatan. Cukup! Tidak seorang pun pantas merasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...