Setelah hampir seminggu tidak keluar kamar, aku akhirnya bisa menghirup kembali udara segar. Susana rumah jauh lebih lenggang dari sebelumnya. Padahal kalau dipikir-pikir, hanya ada satu penghuni saja yang hilang. Tak ada bedanya dengan hari biasa, seharusnya. Sebab sehari-hari pun aku juga tidak berada di sana, jauh di perantuan. Namun, kepergian Zahra bukan hanya soal ketiadaan sosok melainkan lebih besar dari itu.
Ibuku benar-benar tidak mau keluar kamar, sepanjang siang itu yang bisa kudengar dari kamarnya hanyalah tangisan. Di sisi lain, Ira juga lebih disibukkan dengan kegiatan sekolah –tampak jelas bahwa dia sengaja menghindari keributan ini. Ya, ketengannya telah direnggut oleh entah apa. Mungkin, keadaan. Keadaan lah yang memuat situasinya semrawut dan muram.
"Kamu yakin?" tanya Bapak saat kami bertemu di dapur. Beliau sedang mengupas mangga untuk Ibu.
Aku mengangguk. "Inggih, Pak."
"Coba dipikir maneh, May. Ning kana adoh omah lho, Nduk. Yen enek apa-apa karo kowe, terus piye? Apa maneh kowe sik durung sehat kayak ngene."
"Mboten, Pak!" jawabku sembari mengambil gelas dari rak dan mengisinya menggunakan air dari ceret. "Maya sampun yakin. Lagipula, ing Jakarta nggih wonten rencang-rencang."
Bapak berhenti mengupas mangga, lalu menoleh padaku. Tatapan matanya tampak sangat putus asa. Aku paham, ini berat untuknya. Jelas sebagai orang tua beliau mencemaskanku. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, beliau tidak mengerti bahwa rumah ini telah berubah menjadi ..., mimpi buruk bagiku. Bukan! Bukannya aku hendak bilang kalau benar-benar membenci dan enggan pulang ke sini lagi suatu hari, melainkan aku butuh waktu menenangkan diri. Hanya itu. Tidak lebih.
"Kowe wis ngomong karo ayahmu?"
"Dereng. Maya baru bilang ini ke Bunda dan njenengan."
"Terus, kapan mau bilang ke ayahmu?"
"Rencananya, nanti atau besok."
Sambil melanjutkan pengupasan mangga, Bapak mengangguk-anggukkan kepala. "Yen tekatmu wis kuat, Bapak ora bisa ngomong apa-apa. Bapak naming isa ndunga marang Gusti supaya apa saja yang kamu impikan bisa terkabul. Supaya kamu semakin sukses di sana. Lagipula, mahal biaya ayahmu menyekolahkan kamu, Nduk. Bapak minta maaf karena selama ini tidak bisa memberi apa-apa untuk kamu. Bahkan tempat aman dan nyaman buatmu saja Bapak tidak mampu menyediakan."
"Bapak kok bicara begitu?" kataku. "Ini nggak ada hubungannya dengan itu, Pak!" lanjutku sambil meletakkan gelas kosong ke tempat cucian piring lalu menghampirinya. "Pak, ini bukan salah njenengan. Lagian, Maya juga memang sudah waktunya balik ke panti. Kalau terlalu lama cuti, Maya tidak enak pada atasan."
Kalau bukan karena kebaikan Dokter Wahyu dan karena aku hampir tak pernah mengambil satu pun jatah cuti selama tiga tahun, sudah pasti aku akan dapat surat peringatan karena hampir dua minggu baru memberi kamar.
"MAYA! MAYA ANAKKU! MANA MAYA!"
Di tengah obrolan kami yang tenang itu, tiba-tiba saja dari arah depan terdengar suara teriakan Ayah. Dan benar saja, beliau muncul dari ruang makan sambil berlari dan langsung menghambur ke arahku.
"Maya? Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Nak? Ada yang luka? Mana? Biar Ayah lihat!" katanya saking cepatnya seolah-olah tidak bernapas.
Aku yang kebingungan menoleh kepada Bapak –sayangnya, beliau sama tak pahamnya dengan aku.
"Ayah kenapa?" tanyaku kemudian.
Namun, alih-alih menjawab Ayah malah semakin mengeratkan pelukannya. Seakan jika dilepaskan maka aku akan pergi, meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...