Ilham?
Ilhamku?
Aku tidak tahu kalimat seperti apa yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Terguncang, kah? Kecewa, kah? Merasa dikhianati, kah? Atau malah marah? Atau justru sedih? Mungkin kata paling mendekati yang bisa kupilih adalah ..., kosong.
Seperti ada lubang hitam yang mendadak muncul di tengah-tengah dadaku, merampas semua pendapatku soal Ilham. Maksudku ..., bagaimana mungkin dia melakukan semua ini? Bukankah dia mencintaiku? Bukankah seharusnya dia juga tahu betapa besar rasa sayangku untuk adik-adikku? Akan tetapi, kenapa? Kenapa dia bisa ..., membuat Zahra hamil?
"Ini bukan Ilham yang itu, kan?" tanyaku retorik. Setidaknya, aku ingin memastikan bahwa barangkali segalanya masih bisa diselamatkan. Toh, pemilik nama Ilham bukan hanya seorang saja. Ada banyak pria bernama Ilham di dunia. Dan barangkali, meskipun kemungkinannya hampir tak ada, terdapat Ilham lain yang menghamili Zahra.
Namun, ketika Zahra terdiam dan menunduk ..., aku ambruk. Tubuhku menghantam lantai. Detik berikutnya, segalanya berubah gelap.
*_*
Pandanganku masih kabur saat kudengar suara tangisan orang-orang, barulah kemudian kusadari bahwa aku baru saja pingsan. Aroma minyak kayu putih menusuk hidung, lengkap dengan Ibu yang memijit-mijit kakiku. Di sebelahnya, tampak Ira ikut menangis.
Dari cat tembok dan aromanya, jelas aku mengenali kamar tidurku sendiri. Siapa yang memindahkanku kemari? Sebab terakhir kali, kuingat aku tengah berada di lantai bawah atau lebih tepatnya di kamar Zahra.
Omong-omong Zahra, bagaimana dia sekarang?
Bersusah payah kubuka mata lebih lebar, hingga Ibu yang menoleh padaku seketika berteriak, "MAYA? KAMU SUDAH BANGUN, MAY? YA ALLAH! MBAK! MBAK RAHAYU! MAYA BANGUN! IRA, PANGGIL BUNDAMU CEPAT! BILANG KALAU MBAK MAYA SUDAH SADAR!"
Meskipun kesadaranku belum sepenuhnya kembali, tetapi bisa kulihat Ira berlari keluar dari kamar dan hampir menubruk meja hias di samping pintu. Tidak lama dia kembali bersama Bunda yang hanya mengenakan daster bercorak batik hijau tua kesayangannya dan langsung membantuku duduk.
Jujur saja, kepalaku masih berputar-putar. Perutku juga sangat mual, bahkan saking parahnya begitu aku duduk seluruh isinya tumpah. Mengotori kasus dan selimut yang baru diganti.
"Ya ampun, Maya!" Ibu berteriak panik, seperti biasanya. "Maya kenapa? Mbak Yu, kok Maya begini? Pie iki?"
Bunda tidak menjawab dan langsung mengelap mulutku menggunakan tisu yang ada di atas meja samping tempat tidur. "Keluarkan saja, Maya! Tidak apa, Sayang!" ujarnya sambil memijat-mijat leher bagian belakangku.
Seingatku, terakhir kali aku sakit adalah empat tahun lalu. Lebih tepatnya pada awal-awal masa virus Corona menyebar di Indonesia. Itupun hanya gejala ringan. Maklum saja, aku pada dasarnya memang sangat jarang sakit. Bahkan batuk ringan saja aku nyaris tidak pernah. Tampaknya, aku memang terguncang secara emosional dan ini mempengaruhi kesehatan fisikku.
Sialan!
Harus kuakui kalau aku memang bodoh! Betapa menyedihkannya aku sekarang. Sebab, orang yang paling kucinta justru menusukku dari belakang, memporak-porandakan keluargaku hingga demikian. Padahal aku amat sangat mempercayainya. Bahkan melebihi rasanya percayaku pada diri sendiri. Aku sampai rela menentang keluargaku sendiri selama bertahun-tahun untuknya dan beginilah caranya mempermalukanku?
Setelah lebih tenang, Ira menemaniku makan siang. Lebih tepatnya, dia menyuapiku dengan bubur hangat guna mengembalikan tenaga. Tubuhku sangat lemas, bahkan nyaris tak bisa menopang beratnya sendiri sampai-sampai punggungku harus disandarkan pada tumpukan bantal supaya bisa duduk tegak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...