Kenapa Hadiah?

38 2 0
                                    

Kenapa?

Kenapa aku masih merindukannya?

Bukankah seharusnya dia tidak pantas lagi untuk diingat?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus datang silih berganti di kepalaku setiap kali teringat dengan Ilham. Meskipun aku tahu bahwa tidak akan mudah untuk benar-benar melupakannya sekeras apapun aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa dia tidak lagi boleh diingat dengan cara yang sama, bahwa aku tidak pantas diperlakukan seperti itu. Hanya saja, bagaimanapun juga Ilham pernah menjadi cerita. Dia menjadi bagian paling penting dari proses perjalananku menjadi manusia. Dan sialnya, dia pernah benar-benar menjadi tujuan. Terlalu banyak angan yang pernah kami bangun bersama di masa lalu.

Bukannya aku tidak bahagia melihat senyum di wajah sahabatku ketika dia akan menyambut pernikahan dengan pria yang paling dicintainya. Akan tetapi, bohong kalau aku tidak iri. Maksudku ..., dua bulan lalu aku masih berharap bisa berada di posisinya –sekeras apapun cobaan yang harus kami lalui. Dan bodohnya, yang menghancurkan mimpiku adalah orang yang seharusnya menjadi mimpi itu sendiri. Bukankah itu konyol?

"Mbak May, lo mau makan apa?" Hasyim keluar dari kamar mandi lengkap dengan rambut basah dan handuk di pundak. Baju batiknya sudah diganti dengan kaos oblong bergambar minion.

"Gue nggak ditanya?" Devara yang duduk di sebelahku menyela. "Oh, begitu ya? Belum jadi istri lho ini."

"Ya ampun, Sayang. Dramatis banget sih pemikiranmu." Hasyim melemparkan handuk basah itu ke arah Devara, yang tentu saja langsung mendapat tampikan.

"Asem lo, Syim!" gumam Devara. "Jadi, lo mau apa, Mbak May?" Alih-alih marah, dia malah ikut menanyaiku. Lalu, mengambil handuk itu dan melipatnya. "Mending pesan daring saja deh, Yang. Biar nggak ribet."

Hasyim menggeleng. "Ini mumpung gue mau ke bawah."

"Ngapain?"

"Ketemu teman."

"Teman apa teman?" Devara menyipitkan alis lengkap dengan bibir yang dimajukan.

Hasyim melirik padaku sebentar kemudian menghela napas panjang. "Masyaallah, Devara. Siapa juga yang mau sama gue selain lo, Sayang. Kalau nggak percaya, ayo ikut!"

"Nggak usah! Ya sudah sana!"

Dengan sebal Hasyim keluar meninggalkan kami berdua. Kami yang tertawa terbahak-bahak. Tentu saja dengan ketampanannya Hasyim bisa menarik banyak perempuan, sayangnya, pria malang itu hanya tertarik pada satu perempuan gila.

"Dasar kamu, Dev!"

"Apa? Gue ngapain, Mbak May?" Dia menaikkan bahunya. "Eh, omong-omong, baju lo yang buat nikahan gue ..., lo suka, nggak?"

Tentu saja aku suka sebab aku sendirilah yang memilih kain dan modelnya. "Kenapa?"

"Nggak. Soalnya, kemarin Ririn bilang punya dia jahitannya jelek."

"Salah pilih tukang jahit itu."

"Memang." Devara menghela napas panjang. "Padahal gue sudah bilang jauh-jauh hari supaya dia pakai penjahit langganan gue tapi malah ngide cari sendiri. Mana pas bajunya jadi malah protes ke gue. Kalau saja bukan adik kandung, sudah gue bikin jadi sate untuk prasmanan itu anak."

"Sadis!"

"Ya kan gue bukan lo, Mbak May!" Devara menegakkan posisi duduknya lalu mengambil setoples kacang panggang di atas meja. "Gue nggak bisa tuh sabar meskipun sama adik sendiri. Nggak tahu kenapa. Dari kami kecil nggak ada tuh istilah ngalah dalam kamus gue."

"Itulah kenapa kalian nggak bisa dekat."

"Iya kali ya. Mau?" tanyanya sambil menyodorkan toples yang langsung kujawab dengan gelengan. "Ya sudah. Tapi, memang benar lo mau balikin ponsel pemberian Mas Hans? Sayang lho, Mbak. Harganya mahal. Lumayan. Daripada lo pakai ponsel butut terus?"

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang