52. Keraguan

33 6 0
                                    


Aku terbangun setelah Fahira dengan sengaja mengguncang bahuku dengan cukup keras, sampai-sampai saking kagetnya aku hampir terjungkal dari kursi.

Meskipun masih pagi buta tetapi kesibukan sudah mulai terasa. Banyak orang berlalu-lalang di lorong rumah sakit tempatku, Fahira dan Bapak tertidur –meskipun sebenarnya aku tidak yakin Bapak bisa menutup mata –nyenyak.

"Kami mau balik dulu." Fahira berkata sambil mengenakan jaket merah mudahnya. "Mbak Maya mau ikut?"

"Kamu balik sama siapa?"

Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul saat itu.

Fahira menoleh, lalu menepuk pipiku pelan. "Sama Ayah dan Bapak. Kalau mau ikut, cepat! Aku ada ujian pagi ini."

"Nggak deh, Ra. Mbak di sini saja. Kasihan Bunda. Sendirian."

"Kan ada Mas Ilham?" ujarnya. "Sudahlah, Mbak. Pulang saja ya? Sekalian, nanti Mbak masakin sarapan sama bawain baju ganti buat Bunda dan Mbak Zahra."

"Jadi, ini ceritanya kamu ngasih Mbak Maya pertanyaan atau perintah?" Meskipun masih mengantuk, aku membercandainya. "Ya sudah, Mbak Maya cuci muka dulu ya."

Mengingat toilet terdekat sangat jauh, akhirnya aku memutuskan untuk memakai toilet di kamar perawatan Zahra. Dia masih terlelap di atas ranjang, begitu juga dengan Ilham di sofa tunggu.

Sebenarnya, aku tidak tahu harus sedih atau bahagia. Namun satu yang pasti, aku masih tidak bisa paham bagaimana bisa mereka berdua melakukan hal ini kepadaku? Zahra yang begitu polos dan kekanakan ..., selama ini kupikir Ilham menyayanginya sebagai seorang adik. Terlebih masih terekam jelas di masa-masa itu, ketika aku dan Ilham masih remaja dan Zahra kecil mengekori kami saat kencan.

Zahra seringkali minta dibelikan ini dan itu, lalu akan menangis dan melaporkan hubungan kami pada Ibu kalau tidak dituruti. Padahal saat itu ekonomi Ilham tidak cukup bagus. Alhasil, tiap kali hendak kencan kami harus menabung uang tutup mulut untuknya.

Namun, kini?

Malah aku yang benar-benar dibuat tutup mulut.

Semuanya terasa bagai mimpi buruk.

*_*

"Bagaimana Maryam?" Adalah pertanyaaan pertama yang diajukan oleh Ayah begitu sampai di rumah.

Pak Kadir menjawab dengan senyuman lebar. "Alhamdulillah. Tidak aneh-aneh, Pak. Bahkan semalaman dia tidak keluar kamar. Hanya sesekali minta diambilkan buah-buahan dan roti."

Tentu kami semua bersyukur mendengarnya, sebab semalaman tidak tenang membayangkan betapa kacaunya rumah tanpa kehadiran Ayah dan Bunda. Lebih tepatnya, kami semua mencemaskan Ibu dengan segala keunikannya.

Barangkali Ibu paham bahwa hari ini semua orang sedang sibuk dan kelimpungan mengurusi Zahra. Meskipun jujur saja aku agak sangsi mengingat itu bukan watak ibuku sama sekali.

Sama sekali aku tidak berniat menghina apalagi mengolok-olok ibu kandungku hanya saja memang begitulah Ibu. Apa yang tidak dibuat ribet olehnya? Aku bahkan masih ingat dengan jelas ketika usiaku delapan belas tahun, lebih tepatnya saat kakiku terkilir dan butuh perawatan, tebak apa yang dilakukan oleh Ibu? Beliau marah karena Ayah membatalkan rencana liburan ke Bali yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Beliau bahkan menyebutku bodoh karena bisa terkilir. Padahal aku bisa terluka karena menemaninya belanja.

Namun, jelas ini bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan. Terlebih Ayah, Bapak dan Ira harus segera bergegas dengan aktivitasnya masing-masing. Maka, untuk mengurangi beban Bapak kuputuskan untuk membantunya membuat sarapan. Untungnya, ada bakso dan sayuran di dalam kulkas yang kusulap menjadi sup sederhana.

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang