Siapa sangka kalau sebulan yang lalu aku hampir mencabut nyawaku sendiri di dalam kamar ini? Bahkan kalau dipikir-pikir hebat juga aku bisa membuat simpul di tempat setinggi itu. Nyatanya, pada saat itu kewarasanku memang sudah hampir tidak ada. Hanya kematian lah yang ada di depan mata. Padahal lihat! Sekarang aku masih baik-baik saja meskipun mustahil kalau lukanya sudah tidak ada. Masih beradarah, ada di sana tetapi tidak semengerikan dugaan awal.
Lagipula, bukan hanya aku yang terluka tetapi semua orang di rumah ini. Kegagalan tidak hanya merayap di dalam dadaku melainkan pada setiap urat nadi keluarga kami. Kalau saja bukan karena warisan status dari Eyang sebagai orang paling berpengaruh di desa, sudah pasti nama kami akan hancur seketika, terlebih kasus semacam ini –di tempat sekecil ini –sangat mudah tersebar dan jelas pelanggaran pada norma dan nilai masyarakat. Lain apabila terjadi di kota besar. Sekalipun mungkin ada penghakiman tapi tentu tidak akan sefrontal di desa. Terlebih Zahra adalah seorang guru. Itulah mengapa menurut Ira, sejak menikah ternyata tanpa sepengetahuanku Zahra telah keluar dari sekolah. Tentu ini membuatku terkejut ..., maksudku, tentu aku tahu bahwa kehamilannya akan jadi omongan orang tapi menjadi guru adalah mimpi Zahra. Hidupnya. Dia sudah bekerja keras untuk itu.
"Ya apa lagi?" Fahira yang duduk di depanku tersenyum kecut sambil mengunyah makanan berbahan singkong yang ada di atas daun pisang dengan ogah-ogahan. Lebih tepatnya, bahasan inilah yang membuatnya tidak nyaman. Namun entah bagaimana dia tetap membagikan cerita. Barangkali karena dia satu-satunya anak yang tersisa, kalau bukan padaku, kepada siapa lagi dia menyampaikan isi kepala? Terlebih dengan kondisi orang tua kami yang saking sibuknya seringkali mengabaikannya.
Bisa dikatakan bahwa Ira adalah anak yang paling kesepian dibanding aku dan Zahra. Kesibukan Bapak sebagai PNS menyita banyak waktu berharga, kalau Ayah jangan ditanya, Ibu? Dia bahkan sering lupa kalau punya anak. Hanya Bunda lah yang mengurus segalanya sendiri. Benar-benar segalanya. Rumah, keuangan persawahan keluarga, gaji buruh di peternakan bukan tanggung jawabnya untuk menemani Ayah. Aku? Sudah bertahun-tahun tidak kembali. Itulah kenapa kasus ini membuat Ira menjadi orang paling terluka, terlebih setelah Zahra memutuskan tinggal bersama Ilham.
"Lebih tepatnya diusir sama Ibu." Fahira menegaskan saat kami menikmati makanan di teras depan. "Padahal cuma pindah ke sebelah tapi –" Dia menjeda kalimatnya.
"Tapi?" Aku mengerutkan kening. "Tapi apa?"
Zahra menarik napas panjang lalu mengangkat kepalanya guna menatap mataku. "Dia sama sekali nggak pernah ke sini."
"Hah? Tunggu! Tunggu! Maksude piye?"
"Ya begitu ...."
"Apane sing begitu, Ra? Mbak Maya nggak paham kalau kamu ngomongnya nggak jelas."
"Aku gak isa cerita, Mbak."
"Lho? Kenek apa? Omongo! Aja rahasia-rahasian karo Mbak Maya!" tegasku. "Gak oleh omong ya karo Bunda?"
Dan seperti dugaanku, Fahira mengangguk lemah. "Bunda sama Ayah bilang, kalau Mbak sampai tahu nanti kepikiran."
Selemah itu kah aku di mana mereka?
"Ra! Rungokne Mbak Maya, ya!" Aku memegang pundaknya dengan kedua tangan. "Kalau ada apa-apa, tolong cerita! Mbak Maya ini mbakmu juga. Kamu nggak usah takut. Mbak nggak akan kenapa-kenapa. Malah, kalau kamu nggak ngomong, nanti kalau sampai terjadi hal-hal yang nggak diinginkan .... Ngene ya, Nduk! Sampeyan ndak melu mikir sing duduk tanggung jawabmu. Durung wayahe sampeyan melu mikir kayak ngene iki. Mbesok enek waktune dewe."
Bukan hanya mataku yang memanas, tetapi aku bisa melihat dengan sangat jelas kedua bola mata Fahira memerah. "Iya, Mbak" jawabnya sambil menitikkan air mata yang dengan sigap langsung kuseka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...