Sudah berkali-kali aku meminta Ibu keluar dari perkumpulan tukang pamer itu, tapi dia tidak pernah mengindahkan. Hidup sebagai putri tunggal dari salah satu orang paling kaya di tempat kami, dia memang hampir tidak pernah mendapatkan penolakan seumur hidupnya. Eyang sangat memanjakannya, begitu juga dengan kakak lelakinya. Bahkan menurut cerita yang dirumorkan banyak orang, nasib baik Bapak tidak dibunuh oleh Eyang Kakung karena melamar Ibu. Dia membuat ibuku yang tak tersentuh jatuh cinta, atau bisa dibilang ..., dia lah yang menumbalkan dirinya sendiri ke neraka.
Hampir seumur hidup, aku belum pernah melihat Bapak tersenyum di dekat Ibu. Dia memang selalu ceria di depan aku dan adik-adikku tapi senyumnya akan langsung memudar saat berhadapan dengan istrinya sendiri. Bukankah itu aneh? Bukankah dalam pernikahan semua orang bisa menjadi dirinya sendiri di depan pasangan? Atau, itulah sikap bapakku yang sebenarnya?
Namun, itu kan kehidupan Ibu. Bukan kehidupanku.
Tidak sepertinya, aku harus berusaha keras mencari uang. Pun kehidupan keluarga kami sudah tidak sejaya dulu. Memang, kami tidak bangkrut sampai harus tidur di kolong jembatan apalagi kehilangan kehormatan, bahkan hingga hari ini Pakde alias Ayah masih menjadi salah satu orang paling dihormati di kampung tapi ..., situasinya sudah jauh berbeda. Beberapa ladang Eyang sudah berpindah tangan, dijual demi melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan oleh Eyang Kakung. Bahkan kini Bapak dan aku harus bekerja keras mencari uang demi memenuhi impian Fahira masuk militer saat lulus sekolah nanti.
Aku tahu betapa berambisinya Ira masuk ke kepolisian. Dan meskipun Ayah terus bersikeras untuk menanggung biayanya, tapi karena aku dan Zahra sudah ditanggung oleh Ayah, maka Bapak tak mau kehilangan satu-satunya kesempatan yang dia punya. Bapak tetap ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah, setidaknya sekali seumur hidup.
"Bapak sudah kehilangan kesempatan menjadi orang tua kamu dan Zahra, May. Bapak bahkan sudah tidak berhak menganggap kalian sebagai anak." Aku masih ingat perkataan Bapak saat aku pulang kampung di lebaran dua tahun lalu. Beliau duduk di teras belakang, menatap hamparan tanah luas yang ditumbuhi bunga-bunga indah.
Saat itu, semua orang sedang bersenang-senang di ruang tamu, menikmati suasana ceria lebaran. Banyak kerabat yang berkunjung tapi aku tahu persis bahwa tidak ada satu pun dari mereka menganggap penting keberadaan Bapak.
Tiga puluh lebih Bapak tinggal di rumah ini, tapi dia bahkan bukan kepala keluarga yang sebenarnya. Ayah lah kepala keluarganya. Dan meskipun Bapak mengurus aku dan kedua adikku, tetapi dia bahkan tak bisa menolak saat Ayah memasukkan namaku dan Zahra ke kartu keluarganya. Ya, kami diadopsi. Langkah itu diambil sepihak oleh Ibu tanpa mengajaknya berunding sama sekali. Akan tetapi, aku dan Zahra tahu bahwa Bapak adalah orang tua kandung kami. Setidaknya, sejak usia kami sepuluh tahun.
Dulu, Eyang Kakung dan Eyang Putri masih hidup. Mereka lah pilot di dalam rumah tangga. Menjadi anggota militer menuntut Ayah berpindah-pindah tugas, begitu pula dengan Bunda yang harus selalu mendampinginya. Itulah kenapa, aku dan Zahra ditinggal. Diurus oleh Eyang Putri dan Ibu –yang sebenarnya tak pernah benar-benar turun tangan. Bapak lah yang mengambil alih semuanya, bahkan disela kesibukannya sebagai guru di sekolah dasar.
"Kamu yakin sama Ilham?" Pertanyaan Bapak membuatku terkejut, tapi kemudian beliau melanjutkan, "Maya, sebaiknya kamu pertimbangkan semuanya benar-benar. Kasihan Ilham, Nak. Bapak tidak mau anak baik itu harus mengalami apa yang Bapak alami."
"Jadi, Bapak menyesal menikah dengan Ibu?"
Bapak tersenyum, lalu mengelus kepalaku. "Sama sekali tidak. Hanya saja, Bapak tahu pasti kalau tidak akan ada laki-laki yang setahan Bapak. Satu-satunya yang Bapak takutkan adalah kamu, Maya."
"Ilham tahan kok, Pak. Kalau dia tidak sabar, mana mungkin bisa bertahan selama ini? Lagipula, Maya kan bukan Ibu."
"Dulu, Bapak pikir juga begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
Genç Kız EdebiyatıBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...