13. Adikku yang Malang

50 6 0
                                    

Tidak ada yang salah. Semua benar menurut prespektifnya masing-masing. Bagaimanapun juga aku adalah anak perempuan pertamanya, tempat dia bisa mengadu segala hal terlebih dengan watak Ibu, jelas dia butuh orang untuk menjadi tempat menumpahkan segala resah. Di sisi lain, Bunda juga ibuku. Bunda tak rela aku disakiti siapapun, sekalipun itu adalah ibu kandungku sendiri.

Yang kutahu, Bunda tentu tidak berniat menyakiti Ibu. Beliau sangat mencintai Ibu sebagaimana adik kandungnya sendiri. Bahkan Bunda mau membuatkannya teh hangat supaya lebih tenang. Dan, di sinilah kami sekarang. Di meja makan keluarga yang amat sepi, menikmati sayur sop, tahu goreng dan sambal kecap bautan Bunda. Kalau saja situasinya tak begini tentu aku bisa menghabiskan semuanya. Hanya saja, kerongkonganku seperti disumpal menggunakan tisu, makanan tak bisa masuk tidak peduli seberapa keras aku mencoba menelannya. Sialnya, bukan hanya aku yang merasakan hal tersebut. Ira bahkan sedari tadi hanya membolak-balikkan nasi dengan sendok dan garpu.

"Ra, dimakan dong makanannya," kataku memecah keheningan.

Fahira tidak menjawab, hanya melirik sebentar sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Terus, ini gimana? Bapak di mana? Ayah gimana? Mbak Zahra harus diapakan?"

"Ira!" Bunda meletakkan sendok yang beliau gunakan untuk makan, lalu menyentuh punggung tangan bungsu kami. "Kamu nggak usah ikut mikir, ya? Ini biar jadi urusan kami. Ayah pasti nanti akan pulang. Bunda jamin itu. Ayahmu nggak akan mungkin meninggalkan kita semua."

"Terus, Bapak?"

"Biar Mbak Maya yang cari Bapak!" Aku juga tak tahu kenapa tiba-tiba saja mulutku mencetuskan kalimat demikian. Padahal, jelas aku tak tahu keberadaan beliau. Bahkan Bapak membolos dari pekerjaannya. Bukankah ini ..., mengerikan? Maksudku, ini jelas menandakan jika Bapak benar-benar marah, mungkin juga merasa malu.

Aku tahu bagaimana bapakku.

"May." Ibu yang sejak tadi diam akhirnya kembali bersuara. "Zahra sejak kemarin belum makan."

"Iya, May!" sambung Bunda. "Kami sudah paksa dia buka pintu, tapi Zahra nolak terus. Kalau dia nggak makan, Bunda khawatir Maya. Apalagi, kondisinya sekarang dia lagi hamil. Bunda takut dia kenapa-kenapa."

"Ya sudah, kalau begitu biar Maya yang paksa dia makan!" Aku meletakkan sendok dan garpu ke sisi makanan tak habis di piring, mengelap mulut dengan tisu lalu berdiri. Aku mengambil piring kosong dengan nasi dan sayur, sebelum akhirnya menghampiri kamar Zahra.

Beruntung dia tinggal di kamar bawah, kalau di lantai atas barangkali adikku yang sembrono itu akan mencoba bunuh diri dengan melompat dari baklon. Keputusasaan tentu menggerogoti jiwanya.

Bunda, Ibu dan Zahra mengekoriku yang kini telah berdiri di depan pintu kamar berwarna cokelat tua dengan gantungan pintu bertuliskan Zahra tersebut. Kuketuk pintunya pelan. "Za?" aku memanggil namanya pelan. "Buka pintunya, Sayang. Ini Mbak Maya."

Tidak kunjung ada jawaban, Bunda menatap pintu pedih. "Zahra, makan dulu! Nanti kamu sakit lho, Nduk."

Samar-samar kudengar isakan di balik pintu.

"Zahra, kalau kamu begini terus masalahnya nggak akan selesai," ujarku. "Kita harus bicara. Kamu cerita ke Mbak Maya. Nanti kita carikan solusinya. Ya?"

"Mbak," kata Zahra lirih. Dia sepertinya sudah ada tepat di balik pintu.

Aku mendekatkan badan ke pintu. "Ya, Nduk?"

"Maafin aku!" bisiknya lagi.

Aku menoleh ke arah Bunda dan Ibu, juga Ira yang sama harap cemasnya. "Iya, Sayang. Kami sudah memaafkan kamu, tapi tolong buka pintunya dulu ya? Ya, Za?"

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang