"Kok sudah balik? Nggak dicariin Papi?"
Aku sedang mengecek data kesehatan pasien saat Devara masuk ke klinik sambil membawa segelas teh hangat sambil mengipas-ngipaskan tangan ke udara. Tubuhnya berkeringat hebat seolah baru saja berlari puluhan kilometer. Aku tahu cuaca di Jakarta memang panas, tetapi tentu tidak cukup kuat untuk membuat dia macam itu. "Habis ngapain kamu?"
"Ngejar ayam!" jawab Devara sebelum akhirnya mengambil segelas air mineral di atas meja.
Ayam?
Aku mengerutkan kening dan kembali bertanya, "Sejak kan di sini ada ayam?"
Devara menyedot air dalam gelas dengan cepat, dalam beberapa detik semua lenyap menyisakan gelas plastik yang penyok karena kehilangan seluruh isinya. "Lo percaya, Mbak May?" dia geleng-geleng kepala, "gue habis bantuin Oma Ari buat mindahin paket dari bawah ke kamarnya. Kiriman dari anaknya di Medan. Katanya sih, alat olahraga. Intinya, berat banget. Sampai-sampai badan gue kayak mau rontok."
"Kenapa nggak minta bantuan Mas Galang?"
"Mereka lagi pada di belakang." Devara melemparkan gelas kosong ke tempat sampah di dekat pintu, lalu menghampiriku. Dia memaksaku bergesar dan tidur di sofa panjang klinik yang empuk. "Mbak May, agak sana! Gue mau selonjoran sebentar. Kayak nggak bisa napas rasanya."
"Kebiasaan," kataku. "Sana bantuin yang lain!"
"Sebentar, Mbak!" Devara mengambil papan kerani di atas meja untuk digunakan sebagai kipas. "Omong-omong, lo nggak ke kamarnya Papi? Nanti dia nyariin lho! Kalau sampai dia ngamuk, kami nggak bisa bantuin lo."
"Kami?"
"Ya, kami. Gue dan teman-teman."
"Halah!" Aku hendak menjitak kepalanya tetapi Devara dengan gesit menghindar. "Kapan kalian pernah bantuin gue sama Bu Anggi ngurus Opa Josh? Dengar namanya saja kalian ketakutan kayak ketemu hantu. Dengar ya, Dev! Dia itu nggak semengerikan itu kok. Dia manusia, sama kayak kita."
"Kalau itu gue tahu ..., tapi ini kenapa jadi ngomongin Opa Josh deh? Inti dari pertanyaan gue tadi ..., kenapa lo di klinik? Itu doang. Nggak usah melebar ke mana-mana," tegasnya.
Sambil meletakkan pulpen ke atas meja, aku berdecih. "Malam ini anaknya datang."
"Maksud lo?"
"Pak Johan, anaknya Opa Josh ...."
"Lo sudah ketemu Mas Hans?" sela Devara.
"Heh? Mas Hans?"
Devara dengan cepat mengangguk.
"Bukan Hans, tapi Pak Johan."
"Sama saja!" Dia segera bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk bersila. "Namanya Johanes. Bisa dipanggil Johan, bisa juga Hans. Nah, kebetulan gue manggil dia dengan Mas Hans. Kembali ke topik! Dia ada di sini sekarang?"
"Ya."
"Masih di atas?"
"Kayaknya sih masih."
"Lo sempat ketemu sama dia?"
Dengan lemah, aku mengangguk.
"Kok muka lo lemas banget? Kenapa? Dia ngapin lo?"
"Dia sih nggak ngapa-ngapain aku, tapi masalahnya ..., aku malu banget, Dev!"
Sumpah!
Di antara banyak rasa malu yang sudah kurasakan seumur hidup, ini adalah salah satu yang terbesar. Seolah-olah seperti mengulang kejadian di masa kecil, di mana aku ketahuan mencuri jambu air di rumah tetangga, atau saat aku ketahuan bolos sekolah dan berbohong pada ayahku. Meskipun bedayanya, kali ini tidak ada kemarahan meledak-ledak yang menghakimiku. Malah, Pak Johan tersenyum sangat lebar saat itu. Akan tetapi itu justru membuatku semakin terlibat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
Literatura FemininaBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...