Di tengah teriknya udara Ibu Kota, mobil yang kami tumpangi terjebak di lautan kemacetan. Jujur saja, aku kasihan pada Opa Josh karena tak bisa beristirahat dengan nyaman di dalam mobil, padahal kesehatannya baru pulih. Namun, melihat senyum di wajahnya membuatku lega karena alih-alih lemas Opa justru terlihat sangat bahagia. Apakah ini karena aku? Kristina-nya?
"Kristina Sayang, kamu ingat Om Yusuf?" kata Opa Josh –yang tentu tidak kupahami sama sekali. Namun, sebagai bagian dari akting, aku hanya tersenyum. "Dia pindah ke daerah sini sekarang. Bukankah begitu, Nak?"
Pak Johan yang menyetir menjawab, "Iya. Om Yusuf adalah teman baik Papi. Hanya saja, beliau meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan mobil."
"Meninggal?" Opa Josh tampak kaget. "Kok kamu nggak ngasih tahu Papi?"
"Sudah. Kan kita melayat bareng waktu itu. Papi juga datang saat beliau di kremasi. Malah, waktu itu Papi memberinya bunga perpisahan. Tante Indah juga ngasih gelang Om Yusuf ke Papi, kan?"
"Masa? Terus, gelangnya mana?"
"Ada di rumah."
"Nggak hilang, kan?"
"Mana mungkin hilang?" Pak Johan menoleh sebentar ke belakang. "Kan Papi sendiri yang menyimpannya di lemari. Besok biar aku antarkan ke panti. Ya?"
Opa Josh menggeleng. "Kalau begitu kita pulang ke rumah dulu."
"Heh?"
"Papi mau memastikan sendiri gelang itu betulan ada."
"Tapi, Pi, kasihan Dokter Maya. Beliau harus segera balik ke kerja."
"Dokter Maya?" Opa Josh menyerngitkan kening. "Siapa itu?"
Buru-buru aku menyela, "Tidak apa, Pak Johan. Saya akan menunggu."
"Tapi ...."
"Kalau kamu melarang Papi pulang, lebih baik Papi nggak usah balik ke panti!"
"Lho?"
"Lagian, Kristina juga belum pernah pulang ke rumah kita, kan?" Opa Josh menoleh dan tersenyum padaku. "Kamu pasti kangen rumah kan, Sayang? Kamu harus melihat kamarmu. Papi sudah menatanya dengan indah."
Oh, bagaimana ini?
Sungguh aku merasa tidak enak pada Pak Johan.
"Dan satu lagi!" ujar Opa Josh. "Kita mampir ke rumah Yusuf. Aku ingin melihat apakah Indah baik-baik saja. Boleh kan, Kristina?"
Kutengok Pak Johan sebentar, tapi mau bagaimana lagi? Mau tak mau, aku menyetujuinya. "Tapi, jangan lama-lama."
"Janji!" Opa Josh menyandarkan kepalanya di bahuku. "Kristina, kamu dari dulu memang senang kalau ke sana. Beda dengan adikmu ini. Dan, kamu jangan khawatir karena meskipun Yusuf sudah mati, aku yakin Indah tidak akan menutup restorannya. Kamu suka mi buatannya, kan? Kamu harus makan banyak nanti."
*_*
Setelah hampir satu jam perjalanan lambat yang menyesakkan, kami akhirnya sampai di sebuah area pertokoan padat penduduk. Pak Johan menghentikan mobilnya di lapangan besar yang juga menjadi tempat bagi kendaraan-kendaraan lain untuk parkir, kemudian membukakan pintu tengah untuk aku dan Opa Josh.
Matahari bersinar sangat terik, membuat air liurku kering.
"Gandeng Papi, Sayang!" Opa Josh menarik tanganku begitu kami turun dari mobil yang buru-buru kusambut. "Omong-omong, Nak, seingatku dulu tidak seramai ini. Kenapa sekarang sudah banyak rumah di bantaran sungai?"
Pak Johan menjawab, "Sebenarnya sudah dari dulu banyak rumah di sini. Hanya saja, memang sekarang lebih padat, Pi."
Lalu, kami berjalan menyeberangi jalanan dan menuju gedung lima lantai di kejauhan. Gedung yang pada bagian bawahnya merupakan pertokoan. Ada banyak penjaja makanan di sana, di kedai-kedai khusus yang disediakan. Pak Johan mengarahkan kami ke salah satu kedai yang sangat ramai, dan langsung disambut oleh perempuan muda bercelemek merah muda.
"HANS!" Gadis itu sangat cantik dengan kulit putih, rambut hitam yang digulung rapi dan lesung di kedua pipinya. Dia menghambur dan memeluk Pak Johan. "Apa kabar?"
"Puji Tuhan," jawab Pak Johan. "Mama ada?"
"Ada, sebentar akan kupanggilkan ..., eh Om Joshua?" Melihat keberadaan kami, dia menyapa. "Om Josh lama sekali tidak ke sini? Aku sampai kangen."
Papi Josh tidak langsung menjawab tetapi malah mencengkeran tanganku. "Agnes, bagaimana kabar Ibumu? Aku baru ingat kalau ayahmu sudah meninggal. Maafkan aku. Karena sekarang aku tinggal dengan putriku. Kamu ingat anakku Kristina, bukan? Ini dia. Cantik, bukan?"
Tentu reaksi yang diberikan oleh gadis itu bisa ditebak. Heran. Namun, Pak Johan buru-buru menarik dan menyeretnya masuk ke dapur. Lengkap dengan perintah, "Silakan duduk, Dok. Saya akan ke belakang dulu. Sebentar saja."
"Baik, Pak Johan."
Kupikir, Pak Johan perlu menjelaskan kepada keluarganya. Sebab, kemudian saat Bu Indah –perempuan pemilik restoran –keluar, beliau tak heran lagi saat menyaksikan betapa perhatiannya Opa Josh padaku. Beliau sama seperti Pak Johan, mengikuti arus.
"Bukankah dia mirip dengan ibuku, Ndah?" kata Opa Josh. "Kristina sangat menawan. Ini seperti mimpi."
Bu Indah hanya tersenyum, tidak berkomentar apa-apa. Beliau mengingatkanku pada Bunda. Caranya menatap orang lain dipenuhi belas kasih. Sayangnya, karena semua masakan di sana mengandung olahan babi dan alkohol, aku tak bisa mencicipinya. Alhasil, Pak Johan memesankan es kelapa muda untukku di kedai sebelah.
"Silakan, Dok!" ujar Pak Johan setelah meletakkan batok besar kelapa hijau. "Maaf ya, tidak bisa ikut makan."
Aku mengangguk. "Tidak apa, Pak Johan."
Saat itu, Papi tengah mengobrol dengan Bu Indah di meja lain. Menurut Agnes, sang ibu memang memasak sendiri seluruh mi yang mereka jual. Termasuk bakso, babi kecap dan olahan lainnya.
"Kami sudah saling mengenal sejak masih kecil," jelas Agnes. "Kak Kristina sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Karena Bu Dokter dianggap sebagai Kak Kris oleh Om Josh, maka silakan ke sini meskipun tidak dengan Hans. Nanti, biar kami buatkan khusus makanan yang Bu Dokter bisa makan."
"Sebelumnya terima kasih, Agnes. Hanya saja, tolong nggak usah panggil saya begitu ..., saya tidak sedang bertugas."
"Lho? Terus, saya harus panggil apa?"
"Cukup panggil Mbak Maya saja."
"Mbak?" Agnes mengerutkan kening. "Serius nggak apa dipanggil Mbak?"
"Memang kenapa?"
"Orang sekarang kan begitu, anti banget dipanggil Mbak."
"Ya nggak masalah dong. Saya kan orang Jawa, kalau tidak dipanggil Mbak, mau dipanggil apa? Kalau dipanggil Mas, baru saya akan marah," candaku.
Agnes tertawa. "Bisa saja, Mbak Maya."
"Kuliahmu bagaimana, Nes?" Pak Johan meletakkan sumpit ke atas piring, dan mengambil sebotol air mineral di atas meja, lalu meneguknya.
"Lho? Agnes masih kuliah?" tanyaku.
Gadis itu mengangguk. "Kuliah lagi sih, Mbak. Dulu ambil pendidikan, sekarang bisnis. Ternyata, aku nggak cocok jadi guru."
"Oalah."
"Sejak ayah nggak ada, aku jadi berniat mengelola rumah makan ini. Entah bagaimana, mengembangkannya supaya lebih besar lagi. Intinya, supaya nggak jauh dari Ibu. Karena kalau jadi guru, PNS, takut dikirim ke luar pulau." Dia terkekeh lagi. "Soalnya, sekarang hanya aku yang Ibu punya. Sama, kayak orang satu ini!" Dia menunjuk Pak Johan.
Pria itu menoleh. "Apa?"
"Nggak!" Agnes menggeleng.
Pak Johan yang sudah selesai dengan makanannya menggeser mangkuk penuh mi di atas nampan di tengah meja –yang harusnya menjadi jatahku –dan langsung menggantinya dengan mangkuk kosong. Dia hendak makan lagi?
Bersamaan dengan itu, Opa Josh kembali. "Kristina, bagaimana rasa makannya? Kamu suka?"
Sebelum aku menjawab, Agnes dan Pak Johan kompak menjawab, "Sudah! Ini habis."
"Oh, syukurlah!" Opa Josh tertawa. "Nak, cepat habiskan makananmu dan kita pulang. Kenapa kamu makan lambat sekali? Kasihan kakakmu kalau harus menunggu lama."
"Iya, Pap!"
Dari nada bicaranya, terlihat jelas betapa kenyangnya Pak Johan. Dan benar saja, pada akhirnya dia meminta wadah untuk membungkus sisa makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
Chick-LitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...