22. Keluarga Kita

58 3 0
                                    

Berbagai macam lauk, sambal dan sayuran segar khas makanan Sunda telah memenuhi meja saat kami datang. Ayah dengan sumringah berdiri untuk menyambut dan memelukku sebentar, beliau bahkan sampai menggeserkan kursi kayu di sebelahnya supaya aku bisa duduk. Tidak lupa sebelum meletakkan bokongku ke atas kursi, terlebih dahulu kusalami pria di samping kiri ayahku.

"Ini anak pertamamu, Salman?"

"Iya, Mas."

"Cantik," kata pria berperawakan besar itu sambil tersenyum lebar. "Mirip adikmu ya."

Entahlah, sejak kejadian nahas menimpa keluarga kami kurasa ayahku banyak berubah, terutama pada bagaimana beliau secara langsung mengekspresikan perhatian pada anak-anaknya.

"Bagaimana perjalanan kalian? Macet?"

Aku menjawab pertanyaan Ayah dengan gelengan. "Kami lewat jalan tikus, Yah."

"Ya sudah, kalau begitu cepat makan. Mumpung makanannya masih segar."

Devara yang kini duduk di sebelah Bunda menyahut, "Om Salman, boleh minta ayam bakar? Aku nggak makan ikan."

"Tentu! Ya! Boleh! Ini!" Penuh semangat Ayah mengangkat piring berisi ayam goreng sebelum akhirnya menyerahkannya pada Devara yang kegirangan. Devara sendiri sebenarnya bukan alergi ikan, hanya saja dia punya sedikit ketakutan pada binatang satu itu. Itulah kenapa biasanya saat memasak ikan aku harus benar-benar memastikan bentuknya tak lagi menyerupai ikan atau Devara tak akan mau memakannya.

"Sudah berapa lama kamu kerja di Jakarta, Nduk?" Pertanyaan itu diajukan kepadaku.

Saat aku mengangkat kepala dan hendak menjawab, Ayah buru-buru berkata, "Maya, ini Om Ahmad. Teman Ayah. Dulu sering ke rumah saat kamu masih kecil."

"Kamu lupa ya?" tebak Bunda.

Itu sudah lama sekali, terlebih sangat banyak teman ayah yang datang silih berganti.

"Maaf, Om," ucapku sebagai bentuk penyesalan. "Maya sudah kerja di sini hampir lima tahunan."

"Lama juga." Om Ahmad menoleh ke arah ayahku. "Kok kamu nggak pernah bilang, Man? Padahal kan bisa sambung silaturahmi. Kalau kalian sedang ke sini, mampir lah ke rumah."

"Ini juga baru kali pertama kami ke sini, Mas." Bunda menjelaskan sembari meletakkan secentong nasi ke atas piringku. "Mau lauk apa?"

Aku menjawab, "Maya ambil sendiri saja, Bun."

"Ya sudah." Lalu, Bunda dengan cekatan meracik isi piring nasinya sendiri. "Mas Ahmad, Maya ini sudah nggak bisa ditimang-timang. Sudah besar. Tiga puluh tiga tahun."

Devara yang duduk di seberangku tiba-tiba saja melemparkan lirikan ke arahku. Entah apa yang sedang ingin dia katakan. Tak mau menggubris, aku segera mengambil ikan bakar dan sambal.

"Maya kerja di mana, May?"

Sebenarnya aku sudah hampir memasukkan nasi ke mulut tapi langsung berhenti, menundanya guna menjawab pertanyaan Om Akbar. "Panti Werda Berlian Putih, Om."

"Yang milik Dokter Wahyu Arifin itu ya?"

"Om Akbar kenal?"

"Ya tentu. Almarhumah istrinya Dokter Wahyu adalah sepupu dari istri saya."

"Masih saudara berarti, Mas."

"Ya memang, Rahayu." Om Akbar mengambil gelas berisi es teh di depannya. "Gimana, May? Enak kerja di sana?"

Aku mengangguk. "Ya. Tentu."

"Dokter Wahyu baik banget, Pak!" sahut Devara.

"Lho, kamu juga kerja di sana?"

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang