Seandainya kemarin aku benar-benar bunuh diri, apakah Ayah dan Bapak akan mengalami hal sama dengan pria malang ini?
Aku masih ingat betul hari di mana untuk pertama kalinya bertatap muka dengan Pak Johan, lebih tepatnya ketika aku mengantarkan makan malam ke kamar sang ayah. Tentu saja aku sangat malu, terlebih ketika Pak Johan turut memanggilku dengan nama saudarinya.
"Silakan masuk, Kristina," katanya sambil menerima nampan berisi makan malam.
Entah kata apa yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku kala itu. Malu, tidak nyaman atau ..., merasa bersalah? Semua bercampur menjadi satu, seolah aku tak punya muka lagi.
"Eh, Pak, saya ...."
Pak Johan meletakkan nampan ke meja di samping ranjang ayahnya, lalu berbalik. Di sinilah kemudian kusadari ada senyuman tipis di wajahnya. Sejujurnya, Pak Johan tidak begitu mirip dengan ayahnya tetapi suara mereka ...,benar-benar mirip. Itulah mengapa sebelum pintu terbuka, kupikir Opa Josh lah yang menjawab salamku. "Saya sudah dengar semuanya."
"Heh?"
Bagaimana bisa?
"Dokter Wahyu yang memberi tahu," jelasnya sebelum mulutku kembali berkata-kata.
Astaga! Betapa bodohnya aku kala itu. Harusnya aku paham bahwa berita semacam ini cepat menyebar, terlebih Opa Josh adalah topik hangat di antara penghuni panti bahkan sejak hari kedatangannya. Dan, aku juga lupa bahwa Kristina bukan hanya milik ayahnya tetapi juga keluarga besar mereka.
"Pak Johan, saya benar-benar minta maaf."
"Tidak! Anda tidak perlu minta maaf. Malah, harusnya saya yang berterima kasih karena Anda sudah mau membantu mengurus Papi."
"Itu sudah tugas saya, Pak."
Pak Johan sekali lagi tersenyum, selama beberapa detik kami terdiam dan memperhatikan ranjang tempat Opa Josh terbaring. Barulah kemudian Pak Johan dengan kikuk berkata, "Silakan duduk, Dok."
"Eh?"
Aku menoleh dan baru sadar bahwa dia menunjuk kursi panjang di dekat jendela. Akhirnya, karena sudah berada di sini kuputuskan untuk mengobrol. Terlebih baru kali ini aku bertemu dengan ..., keluarga Opa Josh. Ada begitu banyak yang bisa dibicarakan seputar ayahnya, tentu saja.
"Sebenarnya, saya juga tidak rela membiarkan Papi tinggal di panti. Hanya saja, tinggal sendirian di rumah bukan pilihan. Dan, Dokter Maya pasti juga sudah dengar kalau Papi sering ...."
"..., menyakiti perawatnya?"
Pak Johan mengangguk lemas. "Benar. Itulah kenapa saya sangat kesusahan mencari yayasan yang mau mempekerjakan pekerjanya untuk kami. Anda tahu ..., saya masuk daftar hitam di beberapa yayasan."
"Separah itu kah?"
Lagi, Pak Johan mengangguk tapi kali ini lengkap dengan raut menahan malu. Tentu, aku paham perasaannya. Menyaksikan Ibu jadi bahan omongan orang saja, rasa besar yang kutanggung sudah tak tertahankan apalagi sampai seperti itu? Menyaksikan orang tua melakukan kekerasan pada orang lain? Tak kubayangkan semalu apa beliau ini.
"Itulah kenapa saat Dokter Wahyu bilang ..., Papi membaik saya sangat senang." Lain dengan ekspresi sebelumnya, kali itu Pak Johan segera berubah cerah. Seketika, ada harapan di matanya. "Sebenarnya, setiap malam saya ke sini."
"Oh ya?"
"Ya, tapi kita belum pernah bertemu."
"Karena saya baru dapat jadwal malam pada hari ini."
"Oh!" Pak Johan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Setiap kali saya datang, Papi terus membicarakan tentang Anda, Dok. Maksud saya, tentang Kristina. Anda yang menjadi Kristina."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...