Kemungkinan Baru

37 5 0
                                    


Barangkali ini adalah cara Tuhan untuk mempertemukanku dengan keluarga baru, Opa Josh bukan hanya sedang aku tolong tetapi sebaiknya dia pun membawaku masuk ke rumahnya dan memberiku tempat yang nyaman sebagai bagian dari mereka. Sebagai sesama perempuan muda, aku dan Magdalena segera akrab. Dia mengaku sedang mengelola toko buku bekas milik keluarganya yang ternyata tidak begitu jauh dari asrama, malah beberapa kali aku melewati toko itu saat sedang bepergian, hanya saja karena letaknya masuk ke dalam gang dan berada di dekat pasar maka aku belum pernah mampir.

"Nggak harus beli buku," kata Maggie saat kami mengobrol sambil mencuci piring kotor di dapur. "Di sana kami menyediakan minuman dan makanan ringan yang bisa dinikmati sambil duduk-duduk santai."

"Jadi, itu seperti kafe?"

Maggie mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Tapi, alih-alih kafe aku lebih senang menyebutnya warung baca. Dari kata warung kopi dan baca buku."

"Sepertinya menarik. Kamu mengelolanya sendiri?" Aku mengambil piring penuh busa dari tangan Maggie dan bersiap membilasnya.

Kali itu Maggie menggeleng. "Nggak bisa disebut sendiri sih, karena nyatanya aku hanya ikut mengawasi doang. Ada dua karyawan yang ngurus warung dan satu orang pegawai toko buku. Mereka yang paling sibuk, kalau aku sih duduk-duduk saja sambil baca, sesekali ngelap buku bekas, sesekali bantu merestorasi terutama kalau ada buku yang udah rusak, entah halamannya copot, sampulnya sobek dan sebagainya."

"Memang, toko buku bekas masih jalan ya, Magg? Maaf nih ya, terutama kan sekarang seperti yang kamu tahu ..., minat baca masyarakat lumayan rendah."

"Nggak masalah. Aku paham kok pertanyaanmu." Maggie menoleh sebentar lalu tersenyum padaku. "Penjualan buku sebenarnya lumayan lambat tapi warung kopi-nya ramai setiap hari. Namun, bukan berarti buku sama sekali nggak laku. Sebenarnya aku hanya nggak mau orang beli buku bajakan. Yah, harga buku original di sini kan lumayan mahal, jadi daripada mereka beli buku ilegal mending beli bekas. Dan inilah usahaku menjembatani."

"Menarik!" Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Sepertinya, budaya gemar membaca memang tumbuh subur dalam keluarga ini. Mereka tidak bisa lepas dari buku.

Obrolan sempat terhenti saat terdengar suara seseorang muncul dari ruang tengah. Aku dan Maggie menoleh dan ternyata ..., Pak Johan. Dia berhenti melangkah saat menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, tetapi kemudian bertanya, "Kenapa?"

Aku dan Maggie kompak menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Oh." Dia lalu mendekati rak piring dan mengambil gelas besar untuk diisi dengan air putih. "Papi minta diambilkan air putih," katanya tanpa ditanya.

"Beliau di mana sekarang?" tanyaku.

"Di depan. Main sama Kim dan Lisa."

"Omong-omong Lisa, boleh lah anaknya Lisa buat aku satu, Hans." Maggie menyahut dan seketika mendapat tatapan sinis dari Pak Johan. "Kenapa? Anjingmu sudah banyak, kan?"

"Nggak semudah itu." Pak Johan memelototi Maggie. "Dulu saja, waktu Lisa mau lahiran ..., kamu aku suruh biayain lahirannya nggak mau. Sekarang anaknya sudah lucu mau diambil. Maaf sekali, aku sudah telanjur sayang."

"Ih!" Maggie berdecih. "Dia memang begitu tuh orangnya, May! Pelitnya minta ampun! Biar saja, kalau mati kuburannya sempit."

"Nggak mungkin!" Jawab Pak Johan dengan percaya diri. "Kan petinya sudah diukur."

"Memang dasar lo, Hans. Untung kakak gue, kalau bukan –"

"Kalau bukan apa?" Bukannya mendinginkan, Pak Johan justru meledek Maggie dengan menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. Tatapannya benar-benar meremehkan, belum pernah aku melihatnya begitu. "Mau kamu apakan aku? Kayak berani saja kamu, Magg!"

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang