Pertemuan Baru

48 4 0
                                    


Apa yang sebenarnya kutakutkan dari bertemu dengan Ilham?

Mungkinkah karena sosoknya? Akan tetapi, bukankah dia tetap orang yang sama dengan yang sebelumnya?

Mungkinkah karena kenangan? Akan tetapi, bukankah semua kenangan itu memang sengaja kuciptakan sendiri? Bukankah dalam mengambil langkah setiap manusia harus merelakan bila kenangan tak mungkin diulang?

Dan, kini kusadari bahwa satu-satunya yang memberatkanku adalah ekspektasiku sendiri. Di mana aku terlalu mencitrakan dia dalam bayangan dan melupakan bahwa dia manusia yang bisa memilih, mengambil langkah serta mandiri sebagai individu. Meski begitu tak seharusnya dia mengkhianati rasa percayaku. Sudah kuberikan semua kepadanya secara cuma-cuma, tapi beginilah caranya mencampakan aku? Sungguh kalau boleh memilih, kalau boleh membayangkan, selama ini di dalam kepalaku yang selalu ingin kulakukan adalah menampar, memukul atau bahkan memaki-makinta tapi ternyata, begitu Ilham ada di depan mataku, aku gagal. Aku tidak bisa melakukan semua itu. Malah, aku hanya bisa terdiam menatapnya tanpa sepatah kata pun.

Ilham yang berdiri di pinggir sumur lengkap dengan kaos merah dan sarung abu-abunya pun juga bergeming. Padahal sangat dekat tapi baik aku maupun Ilham melihat jarak yang amat jauh di antara posisi kami. Aku tahu dia juga berpikir seperti itu karena ..., dengar! Aku mengenalnya bukan satu atau dua tahun saja –meskipun dia benar-benar menipuku dengan luar biasa –tapi aku paham hampir setiap hal darinya. Tatapannya. Gerak-geriknya.

Namun, bukan hanya tidak menangis tetapi aku juga berhasil menahan diri untuk mengabaikannya. Kupalingkan pandanganku ke arah lain tepat sebelum dia memanggil namaku sebab aku yakin apabila mendengarnya sekali lagi, sudah pasti kesabaranku akan luruh. Kuputuskan untuk membuka pintu dapur yang terbuat dari kayu dan cukup berat dengan sedikit dorongan, membuat Bunda dan Ayah yang ternyata sedang duduk di depan tungku seketika menoleh.

"Lho? May?" Ayah hampir saja menumpahkan segelas kopi di tangannya karena berdiri terlalu mendadak. "Kok kamu ada di sini?"

Bunda menambahkan, "Kamu pulang ke sini sama siapa?"

"Sendirian," jawabku. Lalu, kujatuhkan tas di tangan ke atas lantai berbahan semen sebelum akhirnya menyalami kedua orang tuaku tersebut. "Bunda sama Ayah sehat, kan?"

Ayah mengangguk. "Ayah yang harusnya tanya, kamu nggak kenapa-kenapa kan?"

"Kamu sakit?" Bunda menyentuh keningku.

Segera aku menjawab dengan gelengan tegas. "Alhamdulillah Maya sangat sehat. Memangnya Ayah sama Bunda nggak senang anaknya pulang?"

"Ya senang dong, May. Cuma kan kami ....." Bunda menjeda kalimatnya dan menggiringku duduk di atas lincak yang berada di dekat jendela dapur yang kemudian dibuka lebar supaya udara pagi bisa masuk. "Kerjaanmu nggak kenapa-kenapa kan?"

Sebelum menjawab, aku memutuskan untuk menoleh ke arah sumur tetapi kali itu sudah tak ada siapa-siapa. Ilham telah pergi.

"May?" Bunda mengguncang bahuku. "Kamu –"

"MAYA!" Suara teriakan Ibu dari dalam rumah utama seketika membuat kami terkejut. Beberapa detik kemudian, beliau muncul dengan napas terengah-engah. "AYO, MAY!" katanya.

Eh?

"Ayo? Ayo piye?" Ayah yang sejak tadi diam bertanya. "Maya tas wae teka, arep mok ajak ning endi?"

"Apa kui sing mok gawa?" Bunda menunjuk tas besar di tangan Ibu. "Kenek apa kok kowe nggawa tas barang? Apa kuwi isine?"

Bukannya menjawab, Ibu malah melengos. "May, ayo! Ibu wis ora kuat!"

Hampir saja Ibu menyentuh pundakku tetapi dengan cepat Ayah menyahut tangannya. "Kowe iki nek ditakoni dijawab! Aja sok mbudeki ngunu kui, Mariam!"

"Maya iki sik kesel! Ben leren sik, tho! Kaya ora ana engko wae."

"Mas karo Mbak Yu ora usah melu-melu!" Ibu menjawab dengan setengah membentak. "Maya iki mrene mergo arep nyusul aku."

"Maksudmu piye?"

"Mas Salman, asal sampeyan weru ya! Aku arep melu Maya! Aku arep lunga ning Jakarta! Aku emoh ning kene! Aku isin!" Ibu mengibaskan tangan ayah dengan kasar. Lalu, dia menarikku untuk berdiri. Hampir saja aku terjatuh kalau Bunda tidak menahan tubuhku.

"MARYAM! Kowe iki omong apa?" teriak Bunda. "Kowe iki wong tuwa lha!"

"Sing omong aku cilik ya sapa, Mbak Yu?"

"TERUS KELAKUANMU IKI APA NEK ORA KAYA BOCAH CILIK?" bentakan Ayah seketika membuat Ibu mengerut. Beliau menunduk, tidak berani menatap mata sang kakak. "Apa menurutmu ngongkon anakmu wedhok balik kaya ngene iki kelakuane wong gerang? Jawab! Aja meneng wae!"

"Kowe iki disabar-sabari kak malah ndadi!" Bunda geleng-geleng kepala. "Apa ora mok pikir Maya iki sapa? Maya iki anakmu, Maryam! Sing lara ning kejadian iki ora mung awakmu tapi ya Maya dewe."

Ayah menarik napas panjang, tangan beliau mengepal dan menandakan emosinya sedang diubun-ubun. Buru-buru aku merangkul lengannya. "Sabar, Yah! Maya mohon, tolong tahan!"

"Karepe ibumu iki pie tho, May? Ayah kok ora paham blas!" Beliau menatapku pedih. "Maryam!" Ayah menatap kembali ke arah Ibu yang sayangnya tidak terlihat menyesal sama sekali. "Kowe iki nek diajak ngomong aja meneng wae! Jawab!"

"Apa tha Kang Mas iki!" jawab Ibu ketus. "Aku iki krungu! Ora usah mbengok-mbengok!"

"Mergo kowe nek ora dibengoki ora nggatekne!" Ayah kembali membentak tapi kali ini tidak sambil berteriak. "Apa karepmu nek pindah ning Jakarta otomatis kabeh tangga teparo lali karo kejadian iki? Ngunu? Ora, Yam! Sing enek kabeh uwong bakal yen kowe ..., ibune Zahra ..., Maryam Fatmawati ..., ora isa tanggung jawab!"

"Lha kok ngunu?"

"Ya jelas! Wong kowe mlayu!" Bunda menyahut. "Bukaen kupingmu! Irisen lambeku yen ora percaya! Ning endi wae kowe manggon ..., isinmu bakal katut. Kowe ngerti kenek apa?"

"Maksude, Mbak Rahayu?"

"Mergo sing ngraupi tai ning raimu duduk wong liya, Maryam. Anak ya anak. Selawase urip kuwi dadi gawanmu. Ora elok koe minggat kaya ngunu, apa maneh nganti ngrepoti Maya. Ora urusan kuwi karo Maya!"

Ibu tidak menjawab tetapi air mukanya merah padam. Dibantingnya tas besar itu ke lantai dengan kasar sebelum akhirnya berlari kembali ke dalam kamar dan meraung-raung. Aku hendak mengejarnya tapi ditahan oleh Bunda. "Ben, May! Ora usah diuber! Ben dipikir dewe!"

"Tapi, Bun –"

"Bundamu benar, May!" Ayah yang telah lebih tenang mengelus kepalaku. "Iki pancen salah Ayah. Kabeh wis kadung salah kedaden. Ibumu dadi kayak ngunu gara-gara Ayah. Salah caraku mendidik Maryam."

Baru kali itu aku melihat Ayah menangis. Air matanya tergenang di pelupuk mata tapi buru-buru diseka sebelum jatuh ke pipi. Sementara Bunda buru-buru mengambil tas yang dijatuhkan oleh Ibu –dan tas jinjingku –untuk dibawa masuk kembali ke dalam rumah utama. Ini jelas bukan pagi yang membahagiakan.

Akan tetapi, bersamaan dengan itu terdengar suara sepeda motor butut Bapak, yang ketika kutengok dari jendela, beliau dan Ira tengah berboncengan dan membawa beberapa keresek belanjaan. Begitu melihatku tentu saja mereka langsung memeluk dan menyampaikan kerinduan. Ya, biarlah pertengkaran pagi itu menjadi rahasia antara kami berempat.

Ira masih terlalu kecil untuk mendengar hal mengerikan ini, sedangkan Bapak ..., beliau menua sangat cepat sejak terakhir kali bertemu. Menandakan seberapa besar beban di pundaknya. Itulah kenapa aku tak mau menambahnya lagi.

"Mbak May, aku tadi beli tiwul kesukaanmu lho. Tiwul Mbok Jum. Kita sarapan pakai ini ya?" ujar Ira.

Aku mengangguk. "Boleh. Dimakan pakai teh tawar enak banget itu pasti."

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang