Jujur aku tidak tahu apakah benar-benar siap menerima kedatangan Ibu untuk bergabung dengan kehidupanku sekarang, maksudku ..., setelah bertahun-tahun kami terpisah dan hidup dengan interaksi yang minim, kini akhirnya aku harus benar-benar tinggal berdua, seatap dengan ibuku tanpa orang lain. Itulah kenapa aku seolah mengulur waktu. Alih-alih bergegas menemukan apartemen baru, aku justru menikmati proses pencariannya dan berharap tidak segera mendapatkan apa yang aku cari. Malah, selama berhari-hari aku dan Pak Johan ..., ada perasaan gembira ketika jalan dengannya. Menikmati kota yang padat merayap, di bawah langit malam yang dingin. Apakah aku menyukainya? Tentu, dia seperti kakak lelaki yang belum pernah aku punya sebelumnya. Selama ini aku selalu menjadi kakak tertua dalam hubungan. Aku seorang kakak. Aku merasa harus selalu kuat tapi Pak Johan tidak memandangku begitu. Aku memang Kristina di mata ayahnya, kakak perempuan Pak Johan tapi bagaimanapun juga beliau lebih tua dariku.
Kadang kala kami tidak benar-benar mencari, malah di beberapa kesempatan kami nonton bioskop, makan-makanan Jepang, atau sekadar duduk-duduk di taman sambil makan camilan. Aku tahu ini salah, setidaknya karena ini membuat kondisi ibuku makin uring-uringan, hanya saja aku mencoba menikmati masa-masa ini sebelum mungkin nantinya tidak akan bisa lagi. Tentu, kalau ada Ibu pergerakanku tidak bebas.
Aku masih ingat betul bahwa hampir tujuh belas tahun pertama hidupku seperti dipenjara. Memang, Ibu tidak pernah berbuat kasar apalagi memukuliku hanya saja beliau sama sekali melarangku keluar rumah kecuali untuk sekolah dan les. Bahkan untuk ikut program ekstrakurikuler saja tidak boleh. Aku melewatkan banyak kesempatan ada di masa belia. Itulah kenapa begitu kuliah dan pisah dari orang tua aku merasa terbebas. Lepas. Dan, ketika sekarang aku berkemungkinan kembali bersama Ibu ..., rasanya sulit diterima. Bukan! Bukannya aku membenci ibu kandungku sendiri! Malah, aku begitu mencintainya. Karena kalau aku tega, mana mungkin aku mau bersusah payah mencarikannya tempat tinggal yang nyaman? Terlebih aku jauh, jadi bisa saja kalau aku mau lepas tangan.
Namun, sayang sekali hari ini aku tidak bisa pergi bersama Pak Johan sebab ada janji untuk datang ke rumah Umi. Beliau sampai ke rumah sore tadi, sekitar pukul setengah lima, itulah kenapa begitu pulang dari panti aku dan Devara langsung bersiap-siap ke sana. Berboncengan naik motor lengkap dengan gamis dan beberapa tas berisi souvenir –yang dipesan Umi sebagai tambahan untuk para tamu.
"Kalau bukan karena mertua, nggak mungkin gue mau melakukan semua ini!" Devara yang duduk di jok belakang sedikit berteriak supaya aku bisa mendengar suaranya.
Di tengah mengendalikan laju sepeda motor aku menjawab, "Nggak apa-apa. Sekalian latihan jadi menantu salehah. Kan nanti kalau lo nikah sama Hasyim, kemungkinan besar nama lo bakal sering muncul di media. Menantu dari ustaz dan ustazah kondang."
"Beban banget nggak sih, Mbak May, kalau begitu?" ungkapnya. "Tapi, alhamdulillahnya, Umi sama Abi nggak pernah maksa gue sama Hasyim buat mengikuti langkah mereka. Kayaknya, Umi dan Abi tahu kalau anak dan menantunya nggak cocok jadi pemuka agama. Lagian, ilmu kami juga jauh banget kalau dibandingkan sama mereka."
Itulah hebatnya Ustas Ali dan Umi Sarah, mereka tidak pernah menghakimi siapapun. Padahal kalau dpikir-pikir, Devara dengan segala latar belakangnya, jika disandingkan dengan keluarga mereka ..., rasanya sangat jomplang. Akan tetapi, satu yang pasti, Devara telah berubah tanpa dirinya sendiri menyadari. Meskipun sangat perlahan dan lambat. Tapi seenggaknya, dia sudah mau lagi percaya pada Tuhan. Dia sudah mau salat dan memaafkan kedua orang tuanya, meskipun kadang masih sering menghardik. Bukannya di sini aku berlagak sok suci tapi memang begitulah adanya. Aku pun juga belum begitu sempurna, tapi banyak yang bisa dipelajari dari pasangan pemuka agama tersebut.
Meskipun di masyarakat banyak pula yang menghujat pilihan Umi Sarah dan Ustaz Ali dengan ucapan-ucapan menyakitkan, tuduhan-tuduhan tidak berdasar bahkan mengatai mereka sesat. Tapi, bukankah hanya Tuhan yang bisa menilai keimanan seseorang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...