Pulang

43 6 0
                                    

Ibu tetaplah Ibu.

Sudah seharusnya aku paham dan memaklumi setiap tindakannya sebab sangat mustahil untukku –yang hanya seorang anak –sanggup mengubahnya. Itulah mengapa meskipun dilanda kecemasan selama berhari-hari, setelah pertimbangan panjang, akhirnya kuputuskan untuk menjemputnya ke kampung halaman. Meskipun sepanjang perjalanan dengan kereta aku sama sekali tidak berhenti gemetaran, membayangkan seperti apa reaksiku ketika nanti harus bertatap muka dengan Ilham dan Zahra.

Jangankan bertemu, selama beberapa bulan terakhir membayangkan wajah mereka saja aku tidak pernah sanggup. Mungkinkah aku mampu berdiri tegak di depan muka keduanya? Mampukah aku menerima status baru kami? Dan, mampukah aku menatap mata mereka tanpa berniat menghantamnya?

"Lo yakin?" Devara menanyakannya sebelum kami berpisah di stasiun. Berkali-kali sahabatku itu mengonfirmasi, lebih tepatnya sejak kusampaikan rencana gila ini padanya beberapa hari sebelumnya.

Namun, aku tidak punya pilihan lain. "Ketimbang nyokap kenapa-kenapa." Bersusah payah aku mengembangkan senyuman palsu, mencoba meyakinkan diri sendiri sebelum akhirnya memutuskan naik ke dalam gerbong. Dan, di sinilah aku sekarang. Di dalam kereta yang melaju cepat meninggalkan Jakarta.

Bisa dibilang kalau tahun ini ialah tahun tersibukku. Sudah dua kali aku pulang setelah bertahun-tahun lamanya absen, dan sialnya semua bukan karena sesuatu yang menyenangkan apalagi kuinginkan.

*_*

Ibu:

Wis tekan endi, May?

Sepure wis ning stasiun endi?

Adalah pesan yang kuterima dua jam lalu tetapi belum kubalas sama sekali, aku bahkan sengaja tidak membukanya. Sebenarnya, kereta yang kutumpangi sudah sampai di stasiun tujuan sejak setengah jam lalu tetapi karena hari masih pagi, aku harus menunggu setidaknya sampai ada kendaraan yang bisa membawaku pulang, sebab aplikasi ojek daring di ponselku tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera mendapatkan pengemudi.

Kuputuskan untuk mampir ke warung madura di seberang stasiun guna membeli segelas air mineral dan mi instan gelasan. Bukannya apa-apa, aku kelaparan dan tidak ada satupun warung nasi yang buka sementara perutku keroncongan. Maklum saja, aku tidak menelan makanan sama sekali kemarin. Lebih tepatnya, tidak napsu. Baru sekarang lah perutku keroncongan.

Kuah mi yang panas setidaknya bisa membuatku merasa lebih baik meskipun terlalu banyak penyedap bautan di dalamnya. Kunikmati makan malam yang telanjur pagi ini dengan penuh penghayatan di depan warung, ditemani sepasang suami istri yang tengah menonton televisi di dalam bagunan. Sedangkan aku duduk di kursi plastik, menatap jalanan sepi dan gelap di sisi kanan dan kiri. Seolah-olah tidak ada kehidupan lain di sini.

Dari kejauhan terlihat sorot lampu mobil yang perlahan melambatkan lajunya. Benar saja, mobil itu kini berhenti di tepat di depanku. Seorang pria turun dan bergegas menuju warung.

"Rokok, Mas!" katanya sambil memilih salah satu merk rokok dari etalase.

Bukannya aku hendak memata-matai orang lain tapi sepertinya aku tidak asing dengan orang ini. Tapi, siapa ya? Tak mau pusing berpikir, aku pun memutuskan memasukkan lagi gulungan mi ke dalam mulut. Udara dingin membuat panas dari kuah mi cepat dingin.

Pria itu kembali ke mobilnya, tapi baru beberapa langkah dia berhenti. Apakah dia sadar kalau tengah aku perhatikan? Karena tak enak hati, buru-buru kualihkan pandanganku ke persawahan di seberang jalan. Ada banyak taburan bintang di langit, berpadu indah dengan padi yang menguning dan terkena sorotan lampu jalan. Macam lukisan.

Hanya saja, pria tersebut justru berbalik dan menghampiriku. "Maaf. Ini Mbak Maya ya?"

Eh? Dari mana dia tahu namaku?

"Ya. Benar!" Aku segera meletakkan gelas mi ke atas meja plastik dan balik memandanginya. "Mas siapa ya?"

Pria itu malah tersenyum, lalu mematikan rokok yang tengah menyala di tangannya. "Saya Dirga."

"Mas Dirga?" tanyaku bingung. "Oh iya! Yang waktu itu ke rumah, kan?"

"Tepat sekali!" Dia terlihat senang karena aku mengingatnya. "Boleh saya duduk?" lanjutnya sembari menunjuk kursi lain di sebelahku.

Buru-buru aku mengambil tas jinjing yang kuletakkan di atasnya sebelum akhirnya mempersilakannya duduk. "Dari mana, Mas?"

"Baru pulang dari rumah teman. Eh, Mbak Maya sendiri kok ada di sini? Bukannya kerja di luar kota?" Dia bertanya sambil meletakkan bekas puntung rokok yang sebenarnya baru dibakar ke atas asbak. "Baru pulang atau gimana?"

Aku mengangguk. "Mas mau sarapan?" Aku berbasa-basi menawarkan mi yang sebenarnya tinggal sedikit padanya. "Ini sekalian nunggu kendaraan lewat."

"Terima kasih. Saya masih kenyang," jawabnya. "Lho, tidak ditemput?"

"Saya memang sengaja nggak ngabarin orang rumah. Lagian, nggak apa-apa kok. Kasihan kalau harus membiarkan orang tua jemput saya jam segini."

"Lebih kasihan kalau Mbak Maya sendirian di tempat seperti ini di jam segini," ungkapnya. "Mau saya antar? Kita searah kok."

"Tidak perlu, Mas. Nanti merepotkan."

"Lho? Nggak sama sekali. Malah saya senang bisa membantu putrinya Pak Salman."

Sama seperti ayah, pria ini juga pandai merayu. Lebih tepatnya, pantang menyerah dengan tekatnya. Maka setelahnya, aku mendapatkan tumpangan gratis. Kami banyak mengobrol di sana. Mas Dirga mengaku sebagai anak buah Ayah dan telah lama tidak pulang ke kampung halamannya. "Sudah tidak ada Mama. Jadi, pulang atau tidak nyaris nggak ada bedanya."

"Tapi, ayah masih ada kan?"

"Alhamdulillah masih tapi beliau jarang di rumah juga. Dua laki-laki di rumah ..., jarang ngobrol. Lagian, adik saya juga sudah berkeluarga. Sibuk dengan kehidupan masing-masing. Itulah kenapa kata orang, perempuan adalah pilar dalam keluarga. Kalau rumah tidak ada perempuan ..., rasanya hampa."

Apakah benar demikian?

Namun, bukankah Pak Johan dan Opa Josh baik-baik saja? Atau, aku lah yang terlalu berani mengambil kesimpulan secara sembrono? Apakah Pak Johan sebenarnya tidak pernah baik-baik saja? Ah, kenapa aku malah kepikiran padanya?

Matahari muncul dari ufuk timur, menembus kaca jendela mobil yang melaju melewati jalanan tidak beraspal. Dari kejauhan tampak orang berbondong-bondong berjalan keluar dari langgar di ujung pemukiman selepas menunaikan salat. Kami memang sengaja melewati jalanan berbeda dari yang biasanya kulalui apabila naik taksi. Lebih tepatnya ialah jalan alternatif dan memang lebih sering dilewati oleh warga desa sendiri.

Tidak butuh waktu lama, kini aku bisa melihat bangunan tempat penggilingan padi milik keluargaku dari kejauhan. Bangunan yang bukan hanya luas tetapi juga mencolok.

"Salam saja buat Pak Salman, Mbak!" ujar Mas Dirga tepat ketika aku turun dari mobil.

"Nggak mau mampir dulu, Mas?"

Pemuda itu menggeleng. "Lain kali saja."

"Kalau begitu terima kasih ya!" ucapku sebelum akhirnya kami berpisah. Kusaksikan mobil hitamnya berjalan cepat ke arah matahari terbit. Setelah memastikan dia tak terlihat lagi, aku pun berbalik dan bergegas membuka gerbang –yang seperti biasanya, tidak dikunci. Karena memang setiap pagi buta biasanya Bapak akan berangkat ke mushala dan lanjut jalan kaki ke pasar untuk belanja sayuran.

Entah bagaimana aku selalu suka aroma rumah ini. Tanahnya seolah mengeluarkan bau tersendiri yang khas dan menenangkan. Saat aku tiba, seluruh lampu rumah telah dimatikan, satu-satunya tanda kehidupan justru ada di dapur. Samar-samar aku bisa melihat cahaya lampu menembus melalui sela jendela kayu. Ibu dan Bunda pasti tengah sibuk di sana. Itulah kenapa kuputuskan untuk berjalan melewati halaman luas –yang biasa digunakan untuk menjemur padi.

"MAY?"

Seketika langkahku terhenti saat mendengar suara itu. Seseorang memanggilku dari arah sumur yang berada tepat di sebelah dapur. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa dia. Dan sebenarnya, aku memang tidak sanggup memastikan.

Tidak! Kenapa harus sekarang?

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang