Meskipun keputusanku sudah bulat tetapi nyatanya tidak semudah itu membuang kegelisahan dari dada. Bahkan setelah pesawat yang kami tumpangi lepas landas, mengudara di langit Jawa yang penuh sesak, hingga akhirnya mendarat di Jakarta, bayangan soal Zahra dan Ilham tetap saja datang. Terlebih bagaimana aku menyaksikan keduanya di teras rumah pagi tadi.
Perasaan kesal sekaligus merasa bersalah berkecamuk di dalam diriku, berdesak-desakan minta divalidasi. Namun, jika kesal adalah reaksi akibat dikhinatai lalu apa yang membuat perasaan bersalah datang? Aku bahkan tidak bisa membaca isi hatiku sendiri. Sampai kemudian aku dikejutkan oleh tangan Bunda yang menyentuh bahuku. "Kita sudah sampai, May."
"Eh?"
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, benar saja aku mengenali lokasi ini. Bangunan-bangunan padat penduduk, taman dan yang laing utama ialah sebuah tulisan besar di pintu masuk asrama. Sudah hampir tiga minggu aku tak ke sini. Entah bagaimana, aku merasakan sensasi kerinduan merayap di kulitku.
Ayah yang duduk di depan membukakan pintu, mempersilakan aku dan Bunda turun sementara sopir membuka bagasi guna menurunkan barang-barang bawaan kami yang jumlahnya cukup banyak. Padahal sudah kukatakan pada mereka bahwa tak perlu menyediakan terlalu banyak oleh-oleh, tetapi Bunda terus bersikeras. Katanya, "Nggak apa-apa. Hitung-hitung salam perkenalan Bunda dengan mereka. Kan Bunda belum pernah bertemu dengan rekan-rekan kamu sebelumnya."
Setelah seluruh bawaan turun dan membayar taksi, kupanggil Pak Martin yang tengah tertidur di pos jaga. Butuh kira-kira lima menit sebelum pria tua itu berlari membukakan pintu gerbang. "Maaf! Maaf! Saya nggak tahu Mbak Maya akan balik hari ini."
"Apa kabar, Pak?" tanyaku basa-basi sembari memaksakan senyum palsu.
"Baik. Puji Tuhan. Mbak Maya sendiri bagaimana? Kok kelihatannya pucat sekali? Eh, ada siapa ini?"
Ayah sedikit mengangguk sebelum akhirnya mengulurkan tangan. "Saya Salman, Pak. Ayahnya Maya. Salam kenal."
"Saya Martin, Pak Salman," jawabnya sambil menjabat tangan ayahku dengan penuh keramahan. "Penjaga di asrama ini. Satpam. Kalau ini, ibunya Mbak Maya?"
Bunda tersenyum lebar dan sama seperti ayah, beliau pun menyalami Pak Martin. Namun, kali ini diberi embel-embel oleh-oleh permen jahe yang memang sudah dipersiapkan kemarin. Bunda bahkan sudah memasukkannya dalam wadah-wadah kecil, entah kapan beliau menyusunnya. Yang jelas, amat indah dan cantik. Dan memang disisihkan sendiri dalam tas besar.
"Waduh, Bu Rahayu repot-repot sekalI. Terima kasih lho ini," ucap Pak Martin. "Kalau begitu, mari saya bantu bawa barang ke dalam."
Susana di asrama tidak berubah sama sekali. Sore itu cukup tenang, hanya ada beberapa orang saja di sana. Bahkan Devara juga sedang bekerja. Malah, anak-anak lah yang tengah bermain di ruang tamu atas. Yolanda, Patrick dan Aisyah langsung menghambur dan meninggalkan papan catur saat melihatku datang.
"Tante Maya!"
"Aku kira nggak bakal balik lagi."
"Lama banget perginya."
Bocah-bocah itu saling bersahutan, membuatku gemas sendiri. Maklum saja, anak-anak ini telah turut orang tuanya tinggal –dan terkadang ikut kuasuh---sejak masih balita. Itulah kenapa kami sangat akrab.
"Kangen ya?" tanyaku lebih tepat disebut godaan.
Ketiganya kompak mengangguk. "Jelas lah."
"Kata Mami, Tante Maya nggak balik lagi," ujar Patrick.
Aku menoel pipi tembabnya dengan gemas. "Balik lagi dong."
"Tuh, kan, apa aku bilang!" sahut Yolanda. "Kamu sih nggak percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ЧиклитBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...