Ngawur.
Itulah yang aku pikirkan saat Fatima dengan penuh percaya diri menuduhku sedang jatuh cinta. Lagipula, mana mungkin aku jatuh cinta pada Pak Johan? Dia lebih seperti kakak lelaki bagiku.
Ya, kakak. Tidak kurang dan tidak lebih.
Lagian, aku tahu persis seperti apa rasanya jatuh cinta karena sudah bertahun-tahun lamanya aku hidup membawa perasaan itu. Dan jelas ini bukan perasaan yang sama dengan yang kuberikan pada Ilham. Sudah pasti perasaanku pada Pak Johan sekarang hanya kekaguman seorang adik perempuan kepada kakak lelakinya.
Dikarenakan semakin malam ternyata tamu semakin banyak, maka Fatimah meminta bantuan Hidayah dan Asma menggantikan posisi kami. Sebenarnya, segera setelah kedua sepupunya datang Fatima langsung mengajakku masuk ke rumah tetapi karena teringat dengan janjiku pada Pak Johan, aku pun menolak.
Aku memutuskan untuk mengirim pesan dan menunggunya di luar tenda, sambil sesekali menengok ke area laki-laki. Hanya saja, tidak kutemukan batang hidungnya. Ke mana pria itu? Secara teori harusnya mudah menemukan Pak Johan dengan kemeja kasualnya di antara pria pulujam pria berbaju muslim. Akan tetapi, aku bahkan tidak bisa menemukan jejaknya. Sama sekali. Teleponku pun tidak diangkat olehnya. Satu-satunya yang membuatku yakin dia masih ada di sini ialah keberadaan sepeda motornya di parkiran.
"Permisi, Bapak!" Aku mencegat tiga orang pria paruh baya tepat di depan tenda. Mereka agak terkejut tapi dengan kompak menghentikan langkah. "Saya mau tanya ..., eh ..., apakah di dalam Bapak-Bapak melihat seorang laki-laki muda ..., tingginya sekitar –" Tunggu! Pak Johan seberapa tinggi ya? Eh, benar! "kurang lebih seratus delapan puluhan sentimeter, kulitnya putih dan pakai kemeja warna biru muda. Apakah di antara bapak sekalian ada yang tahu?"
Salah satu di antara mereka, lebih tepatnya bapak dengan kumis tebal menjawab, "Tadi saya memang melihatnya tapi kurang tahu ya sekarang ada di mana."
"Mungkin sedang di masjid, Mbak!" sahut bapak yang berbadan kurus. Dan jelas ini adalah kemungkinan paling tidak masuk akan sekarang. "Karena memang di dalam ada Ustaz Fahri juga, Mbak."
"Atau biar gampang mending suaminya ditelepon saja, Mbak!" tambah Bapak Berkumis sebelum akhirnya mengajak ketiga rekannya pergi. Bahkan sebelum aku mengklarifikasi.
Bisa-bisanya mereka mengira aku menunggu suamiku? Tapi, aku tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya sih. Kembali kunyalaka layar ponsel, mengetik kontak Pak Johan dan memencet tombol panggilan. Terhubung tapi tidak diangkat. Berulang kali terus begitu. Akan tetapi, aku tidak menyerah. Satu-satunya yang membuatku berhenti memanggil ialah lambaian tangan Devara di arah teras. Segera kubalas panggilan itu dengan lambaian serupa. Dan benar saja, Devara kini menuju ke arahku.
"Ngapain lo? Bukannya masuk. Ditungguin tuh sama Umi di dalam."
"Bentar ya, Dev!" Aku masih mencoba mengulang panggilan via telepon. "Sebentar saja. Nggak sampai sepuluh menit."
Devara berdecih lalu ikut melongok ke arah tenda pria. "Lo nyariin siapa sih? Nggak baik tahu ngintip tenda cowok, Mbak May. Nanti dikiran yang enggak-enggak lho dirimu sama orang."
"Ini nggak seperti yang kamu pikir!"
"Kayak tahu saja lo apa isi pikiran gue. Terus ngapain lo kayak begitu?"
Harus bagaimana aku menjelaskannya? Tunggu! Kira-kira apa yang bakal dikatakan oleh Devara saat tahu Pak Johan ada di sini? Apakah dia akan menggodaku, lagi? Sebab selama seminggu terakhir, dia tidak berhenti membahas potensi hubungan di antara aku dan Pak Johan dengan dalih, "Memangnya salah kalau aku menganggap kalian cocok? Toh, baik lo sama Mas Hans sama-sama jomlo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}
ChickLitBukannya tak mau menikah, Maya hanya takut bernasib sama dengan kedua orang tuanya. Dia melihat bagaimana perbedaan status ekonomi membuat ayah dan ibunya membangun keharmonisan semu, bagaimana salah satu dari mereka perlahan menjadi monster mengeri...