Papah

435 36 15
                                    

"Assalamu'alaikum!" Rahman masuk ke dalam rumah setelah ia menaruh sepatunya di rak sepatu yang berada di depan pintu.

Namun tidak ada sahutan. Rahman langsung pergi melangkahkan kakinya ke dapur. Ia yakin, uminya itu ada di dapur. Biasanya setiap pulang sekolah uminya itu selalu ada di dapur atau kadang di sofa sedang menonton acara televisi.

"Assalamu'alaikum Umiii...."

Namun tetap nihil, ternyata uminya tidak ada di sana. Akhirnya Rahman memutuskan untuk pergi ke kamar Resti. Barang kali Resti sedang tidur siang. Kalau tidak ada juga, mungkin uminya itu sedang keluar, pikir Rahman.

Baru saja Rahman hendak membuka pintu kamar Resti, Resti sudah nongol lebih dulu di sana. Membuat Rahman sedikit terperanjat kaget.

"Astaghfirullahaladzim, Umi." Rahman mengusap dadanya yang berdegub kencang tak karuan karena terkejut. Merasa sudah lumayan tenang, Rahman mengecup punggung tangan Resti.

"Assalamu'alaikum Um."

"Wa'alaikumussalam. Rahman...," lirih Resti.

"Kenapa Um?" Rahman menyerngitkan dahinya heran, karena ekspresi uminya yang sangat tidak santuy. Terlihat raut wajahnya yang murung dan sedih.

"Papah kamu masuk rumah sakit, Rahman."

Rahman terdiam. Ia memilih membalikan badannya. Namun, Resti segera menahan kepergian Rahman dengan mencekal tangan putranya itu.

"Umi mohon....Jenguk Papah kamu!"

Rahman masih terdiam. Ia tak bergeming sama sekali.

"Berhenti membenci Papah kamu Rahman! Cepat jenguk! Dosa Rahman! Dosaaa... Jika kamu terus menerus membenci Papah kamu! Mau sampai kapan kamu seperti ini terus?!"

Rahman menghela nafas gusar. Meski berat, tetapi ini memang harus dilakukan Rahman. "Iya, Rahman akan jenguk Papah."

"Alhamdulillah! Terima kasih Rahman!"

"Iya Umi. Tapi Umi jangan sedih lagi."

"Iya Rahman."

💚💚💚

Di ruangan benuansa putih dan harum obat-obatan yang menyengat di hidung, Rahman duduk terdiam di samping laki-laki paruh baya yang terkulai lemas di atas tempat tidur. Rahman memandangi laki-laki paruh baya yang tertutupi selimut setengah badan tersebut dengan tatapan nanar.

Hanya bunyi monitor yang menenami Rahman di ruangan tersebut. Sesekali Rahman mengehala nafas gusar, karena merasa pedih melihat Papahnya berada di posisi tersebut. Yang bisa Rahman lakukan hanya membantu berdo'a untuk kesembuhan Papahnya.

"Maaf selama ini Rahman membenci Papah." Satu tetes air mata terjun begitu saja dari pelupuk mata Rahman. Rahman merupakan laki-laki cengeng. Itulah salah satu kekurangannya. Dari dulu Rahman memang cengeng, ketika mainannya direbut oleh kawannya pun, bukannya berantem seperti anak yang lainnya, ia malah menangis. Hal itulah yang membuat ia diejek 'banci' oleh kawan-kawannya, karena sifat cengengnya itu. Dan masih banyak kekurangan Rahman lainnya. Manusia tidak ada yang sempurna, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Tak lama jemari-jemari lelaki paruh baya tersebut bergerak. Membuat Rahman terlonjak kaget. Rahman segera menghapus air matanya. Baru saja Rahman ingin memencet bel yang berada di samping tempat tidur lelaki itu. Lelaki paruh baya itu malah lebih dulu memanggilnya.

"Shaka? Kamu di sini?" Laki-laki itu berujar dengan suara yang lirih dan parau, membuat Rahman ingin menangis sejadi-jadinya. Namun tidak ia lakukan, karena menurut Rahman menangis di depan orang yang sedang sedih hanya menambah kesedihan orang tersebut. Jadi, lebih baik ia tahan kesedihannya itu. Walaupun menahan tangis itu susah bagi seorang Rahman yang cengeng.

Ketua Rohis Vs Cegil [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang