- 23 -

309 36 81
                                    

Sejak tiba di rumah kedua orang tuanya, Sherina memutuskan untuk tidur bersama ayah ibunya dan membiarkan Salsa menempati kamarnya, ada yang perlu di bicarakan katanya dan Salsa mengerti itu. Sherina kini terbaring menatap langit-langit kamar, di tengah-tengah ibu dan ayahnya yang menyamping menatapnya. Menunggu putri mereka bersuara untuk memulai ceritanya.

"Sadam harus ke Kalimantan, hampir satu minggu di sana.." ujar Sherina setelah beberapa saat berpikir harus memulai cerita dari mana. Kedua orang tuanya masih terdiam menunggu cerita Sherina selanjutnya. "Belakangan tuh kita jarang banget ngobrol, diskusi buat nikahan aja gak sempet saking sibuknya Sadam, pulang tengah malem terus kadang sampai harus nginap di Bogor."

"Yaaa, maklumlah Sher, namanya jelang pernikahan. Apalagi posisi Sadam di OUKAL itu vital, semua tanggung jawab ada di tangannya, ya mau gimana? Ngertiinlah sedikit.." ujar Ayahnya yang berhasil mendapat tatapan protes dari sang istri.

"Aku udah berusaha ngerti, kadang kalau kesel aku bawa tidur aja tanpa nunggu Sadam pulang, buat menghindari cek-cok yang gak perlu.. tapi kok ya jadinya aku capek sendiri rasanya. Semua aku yang tentuin padahal yang menikah kan berdua.. kalau mau adu mengerti, dia juga harusnya bisa ngertiin aku dong.. Aku kan juga capek kerja meski gak sesibuk dia.." Sherina menoleh ke arah ayah di samping kirinya.

"Laki-laki tuh memang begitu kadang Sher, susah membagi fokus untuk mengurusi banyak hal.." sahut ayahnya tanpa bermaksud membela salah satu di antara mereka.

"Itulah kenapa, kita perempuan diciptakan untuk menjadi pendampingnya.. agar bisa mengimbangi laki-laki mengurusi banyak hal yang tidak bisa dia tangani sendiri.." sambung ibunya. 

Kali ini Sherina menghembuskan nafasnya. "Jadi istri tuh memang harus banget menekan ego ya bu? Berat gak sih ibu jadi istrinya ayah selama ini?"

"Berat gak ya?" Ibunya nampak berpikir, memutar ingatannya selama berumah tangga bersama laki-laki yang menjadi imamnya selama hampir tiga puluh dua tahun ini. "Ujian sih ada aja ya Yah? apalagi di awal-awal pernikahan.. adaptasi dengan kebiasaan kita masing-masing. Kamu sama Sadam sih agak ringan, karena kalian mengenal sudah sejak lama. Udah tahu kekurangan satu sama lain bagaimana. Ibu sama ayah dulu kenal hanya satu tahun setengah sebelum akhirnya menikah.. Kalau kurang sabar, mungkin kita udah gak sama-sama sekarang, naudzubillah.." 

"Aku sih nyaris gak pernah lihat ayah ibu berantem ya selama ini. Aku sama Sadam belum apa-apa rasanya pengen ku amuk terus dia sekarang.. makanya aku larang dia ikut pulang kesini tadi.."

"Ya bagus, kamu paham berarti kalau emosi memang lebih baik jaga jarak sejenak, sampai tenang.." Ujar ayahnya yang saat ini mengelus kepala anak satu-satunya itu.

"Tapi jangan kelamaan, kalau anak sekarang bilangnya silent treatment ya? Ayah dulu begitu.. kalau ada masalah, pasti menghindar alasan tugas luar kota padahal gak mau ribut sama ibu aja.. nanti balik-balik langsung biasa aja tanpa bilang maaf dan tanpa cari penyelesaian masalahnya.." Ibu menatap Ayah dengan tatapan yang tersirat. Menyindir terang-terangan. "dan itu gak bagus, jadinya hanya saling menumpuk emosi satu sama lain. Yang namanya segala sesuatu di tumpuk lalu overload itu nanti lama-lama bisa saja meledak.. Jadi serumit apapun, selesaikan sampai benar-benar tuntas..ya?" Ibu meraih jemari Sherina "Ujian orang yang mau menikah itu emang suka ada-ada aja, tapi ibu yakin kamu bisa selesaikan.. Minta sama Allah biar sabarnya di tambahkan, hatinya di lapangkan, di permudah semua rancananya.. masalah kamu sama Sadam itu hanya soal waktu.."

***

Di hari senin ini, Sherina beranjak pulang dari kantor dengan senang hati karena bisa pulang tepat waktu, tidak seperti hari-hari sebelumnya ia selalu pulang ketika langit berubah gelap. Berjalan keluar dari kantor, sembari memesan taksi online yang akan mengantarnya pulang karena selama ini mobil miliknya di gunakan Sadam setiap hari. Saat baru saja melalui pintu kaca itu ia harus di kejutkan dengan tepukan di bahunya, Sigit membuat Sherina menghentikan langkahnya.

Akan Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang