- 30 -

343 24 52
                                    

Hari terakhir Sadam di Jakarta, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah ayah-ibu untuk sekalian berpamitan karena Jumat siang Sadam sudah harus terbang kembali ke Kalimantan.

Sherina, Sadam dan ayah ibu mereka sedari tadi berbincang di ruang tengah dengan serius membahas tentang masalah yang sedang kedua anaknya hadapi. Meski poin berbeda namun dari sumber yang sama, pembangunan Ibu Kota Negara baru, yang menuai pro dan kontra.

"Sher, berbahaya gak tapi kamu pergi liputan ke sana? Mencari tahu informasi langsung dari warga asli sana, menguak kebenaran yang sebenarnya di tutupi.. terjamin tidak keselamatanmu?" Ibunya berujar khawatir saat tahu dengan detail kondisi lokasi yang akan di datangi Sherina dan konflik yang tengah di hadapi, dirasa amat sensitif menurut Bu Darmawan.

"Aman bu, kebebasan berpendapat di Indonesia masih berlaku bukan? Dan tentang perlindungan hukum, jelas kantor juga sudah memikirkan itu bu. Ibu tenang aja.. bukannya justru jika semua terkuak, jadi lebih baik?" Sherina berusaha meyakinkan ibunya.

"Meski tidak akan merubah apa pun? Walau warga banyak tidak setuju, toh sudah terjadi juga kan?"

"Ya setidaknya kita jadi tahu, kenyataan di balik ini seperti apa?! Agar mereka jangan sampai lupa, kalau di balik yang katanya 'gagasan' besar dari mereka ini, memakan banyak makhluk hidup yang suka rela berkorban entah demi kepentingan dan kebaikan siapa.."

Di rasa dua wanita di sekitarnya ini sedikit memanas, pak Darmawan kemudian berdehem "Lapar nih Ayah, Sadam juga kan ya?" Melirik jam dinding "Ada camilan gak Bu? Kalau makan berat kayaknya mending sekalian makan malam aja ya?" Pak Darmawan melirik Sadam, meminta persetujuan.

Sadam mengangguk-anggukan kepala "Pisang goreng enak kayaknya Bu sore-sore hujan gini.." ia menambahi. Membuat Sherina dan ibu akhirnya beranjak, memenuhi keinginan dari dua lelaki itu.

"Jadi kamu menyusul Sadam ke Kalimantan kapan Sher?" Tanya ibunya saat tengah mengupas beberapa buah pisang di tangannya sedangkan Sherina sibuk menyiapkan adonan tepungnya.

"Belum tahu Bu, nanti Senin baru meeting sama pak Ilyas. Nanti aku kabari kapan aku berangkat. Gak usah khawatir begitu ibu tuh, aku di sana juga tetap dalam pantauan pak Ilyas, Sadam juga dampingi aku nanti, ada Aryo juga.." lagi, Sherina meyakinkan ibunya. "Ini berapa banyak Bu tepungnya? Mau bikin berapa banyak?"

"Semuanya aja, yakin mereka ngemil gak bisa sedikit.." ucap Bu Darmawan setelah menoleh sesaat ke arah Sherina. "Ya ibu tuh khawatir karena ini menyangkut orang nomor satu di Indonesia loh Sher, takut ada apa-apa nantinya."

Sherina menggeleng heran, "Bu, kan topiknya tidak mengerucut ke satu orang itu.. tetapi tentang bagaimana pembangunan ini sebenarnya banyak merusak alam.... dan merugikan warga pedalaman. Gak ada loh konteksnya aku menyalahkan orang nomor satu itu.."

"Hhh.. ya sudahlah, ibu bisa apa selain berdoa yang terbaik selalu buat kamu...? Buat Sadam juga.." bu Darmawan menghela nafas, berusaha tenang.

Sherina menuangkan air ke dalam baskom berisi tepung serbaguna itu. Kemudian mengaduknya. "Bu.." Sherina kemudian terdiam sejenak, berpikir tentang pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.

"Kenapa Sher?"

Sherina memperhatikan tangan Bu Darmawan, berbahaya jika pisau itu masih ada di tangan ibunya. "Berhenti dulu potongnya bisa? Aku mau tanya sesuatu." Bu Darmawan akhirnya menghentikan sejenak kegiatannya. Menatap anak perempuannya itu, menunggu apa yang ingin ia utarakan.

"Bu, proses kehamilan sampai ketahuan positif tuh biasanya terjadi berapa lama sih?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Sherina yang tampak masih sibuk berusaha mengaduk dengan baik adonan tepung di depannya.

Akan Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang