Di trimester awal kehamilannya ini, mood Sherina yang sudah dari sebelumnya mudah berubah-ubah kali ini jauh lebih lagi. Ia juga jadi jauh lebih sensitif. Kesabaran Sadam di uji lagi.
"Neng, makan dulu ya.. itu vitamin kan harus di minum setelah makan.." Sadam berusaha menyuapkan makanan ke mulut Sherina meski lagi-lagi di tolak.
"Aku takut muntah lagi kalau makan. Gak enak Dam!" jawaban Sherina ini membuat ayahnya menggeleng heran.
"Dulu ibu waktu hamil kamu gak semanja ini deh Sher, ayo di coba makan dulu, kalau keluar lagi ya gak apa-apa yang penting kan udah di coba makan.." ujar ayahnya yang saat ini ikut duduk di salah satu kursi di ruang tengah rumahnya. "Atau kamu lagi mau makan apa? Ayah cariin.." Sambungnya saat mendapat tatapan tajam dari putrinya itu.
"Ayah gak tahu aja rasanya muntah berkali-kali itu gimana! Enak banget ngatain manja!" gerutu Sherina yang kali ini beranjak dari sana, naik ke lantai dua menuju kamarnya. Sedangkan Sadam hanya berdecak bingung.
"Coba, biar ibu yang bujuk Dam.." bu Darmawan mengambil alih makanan dari tangan Sadam sebelum menyusul Sherina ke kamarnya.
Sadam menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Karena anak dari anak mami kali ya Yah? Jadinya Sher kayak gitu?" ujarnya bingung.
"Sher, mualnya ibu hamil itu gak berlangsung lama kok.. dinikmati aja.. ibu juga dulu begini kok, apa-apa rasanya salah aja.. bahkan Ayah nafas aja buat ibu itu salah." Bu Darmawan terkekeh mengenang masa-masa mengandung Sherina dulu. "Wajar, hormon nya kan juga berubah banyak.. Tapi ya balik lagi, dinikmati saja, sembilan bulan tidak lama kok.."
"Tapi tetep aja bu, gak enak rasanya kalau udah dateng mual-mualnya!" tampilan Sherina bahkan tampak sangat kusut saat ini, ia menolak mandi, tidak suka mencium bau sabun mandi.
"Kamu kan udah ada obat anti mual, udah di minum kan? Jam berapa tadi minumnya?" ucapan ibunya ini membuat Sherina melirik jam dinding.
"Udah lebih dari tiga puluh menit yang lalu sih bu." jawabnya.
"Coba dulu makan ya, jangan gak makan. Bukan hanya soal bayinya, kamunya juga Sher.."
Suapan pertama berhasil Sherina telan. "Padahal tadi Sadam udah berusaha selembut mungkin ngomong sama kamu. Gak juga berhasil bikin kamu mau makan.." Bu Darmawan menggelengkan kepalanya. "Kasihan loh Sher, udah bela-belain lepasin tanggung jawabnya buat temenin kamu, kamunya begitu.. Ibu tahu, hormonal. Tapi ya usahakan jangan sampai bikin Sadam ngerasa gak berguna.."
***
"Kamu capek gak sama aku?" tanya Sherina yang saat ini nyaman berbaring di kamar apartemen mereka dengan Sadam yang di minta untuk terus mengusap-usap punggungnya hingga ia tertidur.
"Enggak, kenapa tanya begitu?" Sadam yang sudah memejamkan mata kali ini kembali menatap Sherina di hadapannya.
"Kamu kalau mau balik ke Kalimantan, aku gak apa-apa loh Yang.."
Ucapan Sherina kali ini membuat Sadam menghentikan pergerakan tangannya, menatap Sherina penuh telisik. Kali ini pengaruh hormonnya lagi kah atau ia mengatakan benar-benar dengan kesadaran? "Aku serius.." sambung Sherina lagi saat tak mendapati tanggapan dari suaminya.
"Kok tiba-tiba? Kamu gak mau aku dekat-dekat kamu?"
Sherina menggeleng, "Aku malah maunya nempelin kamu terus Yang! Padahal ibu bilang waktu mengandung aku dulu, dengar nafas ayah aja ibu gak suka.." Sherina sedikit tertawa mengingat cerita ibunya.
"Kalau mau nempel aku terus, kenapa tiba-tiba bolehin aku pergi ke Kalimantan lagi?"
Sebelah tangan Sherina membelai pipi suaminya, "Aku gak mau aja kamu jadi atasan yang gak bertanggung jawab. Terus gak adil aja rasanya kamu di apart tapi aku dengan bebasnya pergi ke kantor.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akan Ku Tunggu
FanfictionTentang Sherina dengan segala keraguannya dan Sadam yang setia menunggunya. Jika kalian percaya dengan peribahasa "Mati satu tumbuh seribu". Tidak dengan Sherina. Baginya, satu yang hilang meski diganti dengan seribu tetap tidak akan sama. Begitu...