Sembilan Belas

56 5 1
                                    

Jimin tiba di tempat peristirahatan Dephni. Perempuan itu benar-benar sendiri setelah James meninggalkannya karena suatu misi. Kondisinya cukup baik untuk bisa melayani dirinya sendiri. Dephni sedang ada di dapur saat Jimin mengetuk pintu dan membukanya dengan perlahan. Tatapan mereka saling bertemu.

"Kau kemari?" Dephni meletakkan pisau dapur dan mengambil cangkir untuk membuatkan Jimin minuman. "Kau mau kopi atau minuman lain?"

"Kopi saja," jawab Jimin. Kakinya terayun mendekati dapur. Matanya awas memperhatikan setiap gerakan Dephni, lalu ketika rasa kesal menguasainya dia mengambil pisau dapur dan mengacungkannya tepat di leher Dephni. Kopi panas yang dibuat wanita itu pun tumpah mengenai kakinya. Cangkir yang dipegangnya jatuh dan tanpa sengaja terinjak kaki ketika Dephni memundurkan langkah. Darah merembes dari telapak kakinya.

"Jim ...." Suara wanita itu terdengar lemah, tapi tak ada rasa takut di sana. Jimin mendorongnya hingga punggung Dephni membentur meja.

"Sepertinya membunuhmu di sini jauh lebih baik ketimbang aku harus menunggu dan mengikuti perintah kakekmu!"

Dephni menatap kilat kebencian di mata Jimin. Dia sangat sedih, tapi juga puas dengan perubahan Jimin yang hatinya kini telah membeku. Dephni bisa melihatnya dengan jelas di mata itu, bahwa yang terpancar di sana sekarang hanya dendam.

"Kalau kau mau membunuhku silahkan saja, tapi kau tak akan dapat apa-apa dari semua ini."

"Kematianmu adalah satu-satunya hal yang aku inginkan."

"Begitukah, lalu kau akan hidup diburu oleh Kakek? Atau kau akan mati bunuh diri setelah aku mati? Pilihan pengecut mana yang kau pilih?"

"Diam kau!" hardik Jimin seraya menekan pisau dapur itu hingga menyayat leher Dephni. Tangan Jimin gemetar. Dia menggenggam erat pisau itu, melayangkannya dengan cepat, lalu pisau itu menancap di meja dengan suara hentakan yang sangat keras. "Brengsek!" teriak Jimin kesal. Tangannya sedikit tergores pisau, tapi dia tak peduli. Dengan segera dia meninggalkan Dephni, pergi ke luar rumah.

Dephni menarik napas panjang. Jimin jadi sangat berbahaya. Dia mencabut pecahan cangkir keramik yang menancap di kakinya, lalu membersihkan kakinya, mengambil plester obat, dan mengobatinya. Wanita itu meraba lehernya yang tersayat, dan mengoleskan obat di sana. Setelahnya dia kembali melanjutkan niatnya membuat kopi.

Tak berapa lama, Dephni keluar dengan membawa secangkir kopi dan alat P3K. Dia mendudukkan dirinya di sebelah Jimin dan meletakkan kopi di dekat pria itu.

"Tanganmu terluka, biar aku obati agar tak terkena infeksi."

"Pergi kau, Sialan! Dan jangan sentuh aku." Dengan kasar Jimin menghentak tangan Dephni, tapi Dephni tak bergeming. Dia menunggu dengan sabar sampai amarah Jimin sedikit mereda.

"Percuma saja kau memarahiku seperti ini, Jim. Seulgi tak akan kembali," ucap Dephni sambil membersihkan luka di tangan kanan Jimin.

Kata-kata wanita itu membuat Jimin ingin memukulnya, tapi kali ini dia menahan diri. Percakapannya dengan Marcus memenuhi kepalanya.

"James bilang Kakek menugaskanmu mengirim kokain ke Dubai, benar?" Dephni menatap pria itu. Tak ada reaksi apa pun darinya. "Apa aku boleh membantumu?"

Kali ini Jimin menatapnya. "Katakan sebenarnya apa rencanamu?!" tanya Jimin ketus.

"Rencana yang mana? Rencanaku terhadapmu? Atau rencana untuk membantumu menyulundupkan kokain itu?"

"Sudah, lupakan saja," jawab Jimin, lalu bangkit, mengambil kopinya dan menjauh.

"Jimin, maafkan aku. Aku tak punya pilihan lain selain melakukan ini padamu." Dephni berdiri, menatap Jimin yang kini berdiri memunggunginya. "Sejak kematian orang tuaku, dalam organisasi telah terjadi kekacauan. Banyak yang mulai ingin membelot karena mereka tak memiliki calon pemimpin yang bisa menggantikan Kakek. Aku hanya seorang wanita, jadi mereka tak mungkin menjadikanku pimpinan mereka. Karena itulah aku ingin kau menjadi pemimpin kami berikutnya."

"Cih!" Jimin mendesis. Dia ingin bicara, tapi Dephni kembali melanjutkan kata-katanya.

"Seulgi tak cukup tangguh untuk menemanimu. James telah mengujinya, dan wanita itu hanya berpikir tentang uang. Dia terlalu materialistis, jadi kami harus membunuhnya agar tak menjadi gangguan bagimu di masa depan."

"Diam!" jerit Jimin, lalu menyerang Dephni. Jimin pikir Dephni akan menangkis serangannya, tapi wanita itu malah menerima pukulan Jimin dengan pasrah. Pukulan Jimin mengenai ulu hati Dephni, hingga membuat wanita itu tumbang tak sadarkan diri. Jimin pun mendadak panik melihatnya.

"Deph, Dephni!" Jimin menepuk-nepuk pipi wanita itu agar sadar, tapi tak bisa. Dephni masih tak sadarkan diri. Segera Jimin menghubungi James agar membawa tim medis ke pulau itu, lalu Jimin bergegas membawa Dephni ke kamarnya.

Tim medis dan James datang ke tempat itu secepat yang mereka bisa. Untunglah setelah diperiksa, Dephni tak mengalami luka dalam. Hanya saja pukulan Jimin belum bisa ditahan olehnya karena dia baru saja sembuh. Kondisinya belum benar-benar prima.

"Kau!" James hendak meninju Jimin ketika Deph membuka mata dan mencegah perkelahian di antara mereka berdua.

"James, hentikan," ucap Dephni lemah. "Lepaskan dia dan kalian pulanglah. Aku sudah tak apa-apa."

"Tapi, bajingan ini sangat berbahaya jika terus bersamamu," protes James.

"Dia tak akan membunuhku. Aku akan baik-baik saja. Jika dia ingin membunuhku, dia tak akan memanggil kalian."

Jimin hanya diam mendengar perdebatan bos dan bawahannya itu. Dephni pun berhasil meyakinkan James untuk pergi.

"Aku akan datang lagi besok untuk melihat kondisimu," ucap James sebelum pergi.

Dephni mengangguk. "Terima kasih," balas Dephni, kemudian James dan tim medis pun berlalu meninggalkan pulau itu.

"Kenapa kau bisa begitu percaya diri kalau aku tak akan menghabisimu?" tanya Jimin. Tubuhnya bergerak refleks membantu Dephni yang meringis saat hendak bangun dari tidurnya.

"Karena kau adalah Jimin," ucap Dephni membuat Jimin tak mengerti. "Aku mengenalmu lebih dari siapa pun, Jim. Kau penyelamatku di masa lalu, penyelamatku di masa kini, dan akan jadi penyelamatku di masa depan. Aku tak pernah salah dalam menilai seseorang."

"Kau hanya belum merasakan amarahku, Deph! Ingat saja kau berhutang nyawa padaku. Nyawamu untuk nyawa Seulgi, dan nyawa kakekmu untuk nyawa kedua orang tua Seulgi."

Bukannya takut mendengar ancaman Jimin, Dephni malah dengan lancang mengalungkan tangannya di leher Jimin, hingga wajah keduanya kini berada dalam jarak yang sangat dekat.

"Terima kasih sudah kembali, Jim," ucap Dephni, lalu merebahkan kepalanya di dada pria itu. Jimin membeku. Dia tak bergeming terjebak antara dendam dan hasratnya untuk melepas birahinya dengan wanita itu. Bayangan bagaimana mereka bercinta di kamar itu mengusik pikirannya.

"Deph, tidurlah," ucap Jimin pada akhirnya. Dia mendorong tubuh wanita itu, tapi bukannya terlepas dari pelukan Jimin, Dephni justru jatuh terlentang dengan Jimin menindihnya.

Wangi tubuh Dephni selalu membuat Jimin mabuk. Birahinya kian meronta.

"Jim ... apa kau tak ingin menyentuhku? Apa kau tak merindukanku?"

"Sudahlah. Kau sedang sakit. Ak ...." Suara Jimin terputus saat dengan berani Dephni menyambar bibir tebalnya dan melumatnya dengan penuh gairah. Jimin yang awalnya ingin pergi pun tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Dia membalas lumatan Dephni dengan lebih ganas dan bergairah hingga lenguhan-lenguhan nikmat keluar dari bibir wanita itu.

Tbc

Ini jatuhnya kayak itu ... kucing dideketin ma ikan. Sekesel-keselnya, tetep ae nggak bisa nahan nafsu. Wkwkwkwk

Ada yang mau bonus part mantap-mantapnya, nggak? Atau aku skip aja?

Under ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang