Perlahan tapi pasti kondisi Dephni kian membaik. Hari ini, setelah seminggu terbaring pasca oprasinya, Dephni pun membuka mata untuk pertamakalinya. Jimin yang sudah pindah kamar dan sudah dibolehkan untuk jalan-jalan di sekitar rumah sakit pun ada di sana menyaksikan bagaimana Dephni membuka matanya dengan perlahan.
Melihat wajah Jimin saat pertamakali membuka mata jadi kebahagiaan tersendiri bagi Dephni. Wanita itu mencoba mengulurkan tangan dan dengan cepat Jimin mendekat untuk menggapai tangan lemah itu.
"Syukurlah kau sudah melewati masa kritismu, Deph," ucap Jimin lembut. Dia menenangkan Dephni sembari memberi ruang buat dokter untuk memeriksa kondisi wanita itu. Jimin menghela napas lega saat dokter mengatakan wanita itu kini baik-baik saja. Baik tekanan darah, detak jantung, semuanya normal. Besar harapan Jimin agar mereka berdua bisa segera keluar dari rumah sakit. Rasanya dia sudah tak bisa menahan rasa penasarannya akan kondisi Seulgi.
"Nona Deph akan dipindahkan ke ruangannya hari ini," ucap sang dokter pada James yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Ya, Dok. Terima kasih," ucap James.
"James," panggil Dephni. "Johanes bagaimana?"
"Dia baik-baik saja dan hanya mengalami luka ringan. Mereka sudah kembali ke negaranya."
"Baguslah." Dephni bergumam. "Lalu, pertarungannya? Dan pembunuh itu?"
"Tuan Rondge telah membunuh pembunuh rahasia itu. Sementara Kyuhyun, Kevin Jo, dan antek-anteknya melarikan diri. Sepertinya situasinya akan semakin buruk. Mungkin kita harus bersiap untuk perang terbuka dengan mereka."
"Ah, begitu, ya ...." Dephni menghela napas. Sejenak dia teringat kedua orang tuanya yang jadi korban pertarungan perebutan kekuasaan dua kelompok besar itu.
"Dephni ...."
Suara Jimin membuat Dephni menoleh.
"Seulgi, katakan apa yang kau lakukan pada Seulgi?"
"Kang Jimin!" James menghardik marah. Tanpa permisi dia mencengkram kerah baju Jimin. "Sungguh kurang ajar kau menanyakan itu pada Nona yang baru saja siuman!"
"James ... lepaskan dia. Tak apa-apa, dia berhak untuk tau." Dephni menepuk-nepuk tangan pria itu. Tenaganya masih begitu lemah.
"Kau sudah terlibat dalam kehidupan kami, Jim. Jadi, tak ada yang boleh melemahkan hatimu. Kau harus belajar untuk melepaskan dan kehilangan."
"Kau! Apa maksud ucapanmu! Bicara yang jelas!" teriak Jimin.
"Tuan, bisakah Anda jangan berteriak pada pasien. Nona baru saja sadar." Seorang suster wanita datang bersama dua rekan perawat pria. Mereka bersiap untuk memindahkan Dephni ke kamar rawat. Suster itu menatap kesal pada Jimin.
Tak berapa lama, brankar Dephni di dorong meninggalkan ruang ICU, sementara Jimin masih memaku diri meresapi makna dari kata-kata Dephni. Ada letupan amarah yang kian membuncah dalam dadanya.
Setelah terus berpikir dan menemui jalan buntu, Jimin bergerak cepat menyusul Dephni. Dari belakang dia menarik kerah baju James, lalu melayangkan pukulan pada wajah pria itu. James yang tak menyadari akan diserang oleh Jimin pun tersungkur. Belum lagi James membalas, Jimin kembali mengerahkan kekuatannya, mendorong James hingga membentur tembok koridor.
"Kau yang telah membunuh Seulgi, kan?! Katakan!" Jimin merebut pistol di balik jas hitam yang dikenakan James, lalu menodongkannya di kepala James.
Pria itu hanya tersenyum tipis sambil menyeka darah di sudut bibirnya.
"Tenagamu boleh juga, Kang Jimin. Padahal kau masih belum benar-benar sembuh, tapi bisa memukulku seperti ini." James mendorong Jimin, lalu memperbaiki penampilannya. Dia pun menggenggam tangan Jimin yang menodongkan pistol. "Kau ingin membunuhku, kan? Ingin balas dendam? Ayo bunuh! Cepat tembak aku. Tapi asal kau tau hanya aku yang tau di mana Seulgi dan mertuamu dikuburkan. Ayo, tembak aku jika berani, tembak!" ucap James menantang.
Jimin mulai ragu, dia hendak menarik tangannya dan mengurungkan niat untuk melukai pria itu, tapi James malah menahan tangannya.
"Kenapa? Ayo, tembak! Kenapa ragu?!"
"Aakkh!" Jimin berteriak nyaring, lalu melempar pistolnya ke lantai.
James menyeringai dan mendorong pria itu. "Dasar lemah! Inilah alasan kenapa Nona memerintahkan untuk membunuh semua keluargamu karena kau lemah dan mudah dimanfaatkan. Mereka hanya akan menghalangi langkahmu untuk maju dan menjadi besar!" James pun memungut pistolnya dan meninggalkan Jimin yang terduduk di lantai sambil menangis.
"Dephni! Aku akan membunuhmu!" teriak Jimin sambil memukul-mukul lantai.
Sementara itu, Dephni yang lemah terus dibawa menjauh oleh perawat. James menyusulnya dengan cepat.
"Nona ...."
Dephni menatap James dan tersenyum. "Tak apa, James. Kau melakukan hal yang benar. Terima kasih."
"Tapi, Nona ...."
Dephni menggenggam tangan James lembut. "Terima kasih karena selalu ada untukku, James."
Rombongan itu pun masuk lift dan keadaan hening menyelimuti sampai mereka ada di kamar VVIP.
James tengah mengambilkan Dephni segelas air saat Jimin masuk ke ruangan itu dengan kasar. Baik Dephni maupun James sama-sama menoleh ke arahnya.
"Katakan! Katakan di mana kau menguburkan keluargaku! Katakan padaku!" teriak pria itu. Matanya telah sembab karena habis menangis.
"Perjanjiannya, selama setahun kau tak boleh bertemu Seulgi dan keluargamu, jadi kau tak bisa mengunjunginya meski itu hanya mengunjungi makam," jawab Dephni datar seakan-akan nuraninya telah mati.
"Kau! Dasar wanita iblis! Aku akan membunuhmu!"
Belum lagi Jimin mampu menggapai Dephni, pucuk senjata James sudah mengarah ke kepalanya.
"Jangan coba-coba di depanku, Jimin!" ancam James.
Jimin mengepalkan tangannya. Matanya nyalang menatap Dephni yang tak peduli pada keadaan. Dia meneguk air dengan sangat tenang, lalu merebahkan diri di ranjang.
"Bisakah kalian keluar, aku ingin istirahat," ucap Dephni, lalu memejamkan matanya.
Jimin tak terima, dia ingin segera membalas Dephni, tapi James menyeretnya dengan paksa.
"Kembalilah ke kamarmu! Jangan lupa kau masih hidup itu karena kebaikan Nona Deph!"
"Cuih! Jika bukan karena wanita sialan itu, aku tak akan jadi seperti ini! Kalian telah merampas seluruh kebahagiaanku!"
James tertawa sinis. "Karena kami?! Kenapa tak kau salahkan saja istrimu yang serakah itu! Jangan lupa kau hanya laki-laki yang telah jadi budak karena telah dijual oleh istrimu sendiri!"
Ucapan James seakan-akan menampar Jimin, menyadarkannya dari amarah. Seulgi memang telah menjualnya jadi kekacauan hidupnya memang tak sepenuhnya salah Dephni. Tapi, membunuh Seulgi tetap saja sebuah kesalahan.
"Kenapa diam?!" James menghardik. "Sekarang pergi ke kamarmu dan jangan datang ke sini jika Nona tak memanggilmu."
Jimin mundur dengan perasaan kecewa. Sampai di kamarnya dia mengacak-acak rambutnya frustasi. Terjebak dalam amarah dan dendam yang tak terlampiaskan membuatnya mengamuk dan mengacak-acak seprai dan bantal di ranjangnya.
"Dephni! Tunggu saja aku pasti akan membalasmu!" teriaknya sambil menangis.
Sementara itu, di tempatnya, Dephni tak benar-benar tidur, dia hanya menutup mata dan membiarkan bulir-bulir bening membasahi wajahnya.
"Maaf, Jim," ucapnya. "Hatimu harus menjadi batu, kejam, dan tak berperasaan. Sekarang, hanya itulah caramu untuk bertahan hidup."
TBC
Gimana, My? Udah aku up banyak-banyak, tapi pada diem aja. Kasi tanggapannya dong biar aku lebih semangat tamatin Under Control.
Oh, ya, buat temen-temen yang punya novel, mau diterbitkan tp lom ada penerbit yang minang, cuzz self publishing aja. Aku bisa bantu kalian karena aku udah ada percetakannya.
Mau terbit gratis, boleh. Tapi ada syaratnya.
Mau self publish, boleeh.
Mau tanya-tanya dulu? Monggo aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Control
Fiksi UmumAdult 21+, Romance-thriller-action Under Control, ternyata adalah sebuah game yang mengharuskan Kang Jimin si pria desa menjadi seorang pembunuh. Karena satu-satunya cara untuk jadi pengendali permaiana adalah dengan membunuh semakin banyak orang. ...