Tiga Puluh Dua

62 13 0
                                        

Bias cahaya mentari membangunkan Jimin dari tidurnya. Dia mengerjap pelan, lalu menatap Seulgi yang sudah berpakaian rapi.

"Mau kemana, Seulgi?" Jimin bangun mendudukkan dirinya di ranjang, lalu melihat jam di atas meja lampu hias yang menunjukkan jam enam pagi. "Ini masih pagi sekali."

"Oh, Sayang. Kau sudah bangun?" Seulgi memasang anting di telinganya. "Aku harus berangkat ke kantor. Hari ini launching produk baru, jadi aku harus ke kantor lebih pagi untuk mempersiapkan semuanya." Seulgi mengambil tasnya, lalu menjauh sambil melambaikan tangan. "Sarapanmu akan disiapkan oleh ART, kalau kau mau ke kantor, minta aja supir mengantarnya, ya. Bye, Jimin," ucap Seulgi, lalu menghilang dengan cepat. Dia sangat tergesa-gesa.

Jimin turun dari ranjang dengan malas. Sore hari nanti James akan menjemputnya untuk rapat, tapi sekarang dia tak tahu harus melakukan apa. Diputuskannya untuk mandi, lalu turun untuk sarapan.

Suasana rumah itu cukup sepi. Hanya ada dua ART yang wara-wiri. Satu membersihkan luruh rumah, satu lagi menyiapkan makanan untuk Jimin.

"Apa rumah ini selalu sepi?" tanya Jimin setelah menyeruput kopi hangat.

"Iya, Tuan. Kami biasanya hanya membersihkan rumah, lalu pulang. Kecuali Tuan Besar ada di rumah baru kami ada di sini untuk melayani beliau."

Jimin manggut-manggut. "Nanti kalau kalian sudah selesai, kalian pulang saja. Tak apa, nanti aku bereskan sendiri bekas makanku."

"Tapi, Tuan. Nanti Nyonya marah."

"Tak akan ada yang marah. Aku yang tanggung jawab."

"Baiklah kalau begitu, Tuan. Terima kasih."

Jimin mengangguk, lalu kembali melanjutkan makannya. Selesai makan, Jimin memutuskan untuk jalan-jalan melihat-lihat rumah itu. Rumah yang dibangun dengan gaya arsitektur modern bedanya bagai langit dan bumi dengan rumah mereka di korea. Bahkan dengan rumah yang sengaja diledakkan oleh Deph pun masih lebih mewah ini.

Jimin memperhatikan photo-photo yang terpasang di sepanjang koridor menuju ruang kerja. Tak ada satupun photo pernikahannya yang hanya mengenakan hanbook seadanya. Jimin bukan orang berada, jadi saat menikah, dia tak bisa menberi Seulgi gaun pengantin yang istimewa. Semua photo itu menggambarkan kehidupan Seulgi saat ini. Senyum cerah dengan latar tempat-tempat indah di Swiss, juga pakaian-pakaian branded yang menempel di tubuhnya.

Jimin mendadak merasa begitu jauh dengan istrinya. Dia merasa begitu asing dengan perempuan itu, padahal dia sendirilah yang menjadikan seluruh impian istrinya terwujud.

Langkah kaki Jimin terhenti di ruang perpustakaan yang bersebelahan dengan ruang kerja istrinya. Dia memilih duduk di sana, menatap keluar jendela.

Sepasang saudara tampak bermain sepeda di jalanan yang sepi. Anak-anak tetangga itu begitu gembira, saling bercanda dan tertawa. Jimin hanya terdiam membayangkan seandainya Deph masih hidup dan anak mereka benar-benar lahir, apa hidup mereka akan bahagia? Atau dia tetap akan melepaskan Deph dan anaknya lalu kembali pada Seulgi?

Lama Jimin terdiam di sana, mengabaikan waktu yang terus berjalan, dan dua anak itu pun sudah tak ada lagi di jalanan tadi. Jimin bangkit dengan malas, lalu memutuskan untuk pergi ke tempat lounching produk yang dikatakan istrinya. Mungkin sebaiknya dia membuka diri dan menerima apa yang telah miliki sekarang.

Satu jam perjalanan, Jimin tiba di sebuah showroom pakaian. Tempat itu cukup ramai didatangi oleh kalangan elit. Terlihat dari penampilan mereka yang rata-rata mengenakan pakaian mahal, sudah menunjukkan bagaimana kualitas ekonomi mereka.

Seulgi tengah bercakap dengan beberapa pria berjas dengan penampilan yang berkelas. Wanita itu tampak begitu ramah dan ceria, bercakap, bercanda, dan sesekali saling tertawa. Dia bahkan tak tahu kalau Jimin mengawasinya.

Sampai hampir tiga puluh menit berlalu, akhirnya Jimin mendekati Seulgi dan menyela perbincangannya dengan para pria itu.

"Halo," sapanya membuat semua orang menoleh.

Seulgi terkejut melihat Jimin sudah berdiri di hadapannya dengan pakaian yang terlalu casual untuk sebuah pertemuan besar.

"Oh, ya, Tuhan, Jim. Apa yang kau lakukan? Kenapa pakaianmu begini?"  bisik Seulgi sambil sesekali melempar senyum yang dipaksakan kepada rekan-rekan prianya.

"Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan pakaianku?" protes pria itu.

"Bukan begitu, Jim. Tapi setidaknya kau harus paham situasinya sekarang."

"Kenapa, sih? Kau malu karena aku kelihatan miskin?"

Belum sempat Seulgi menjawab, salah seorang dari rekannya berbicara, "Siapa dia Miss. Genevra?"

"Ah, dia ... dia ...."

Jimin maju, mengulurkan tangannya. Dia menyela kalimat yang akan terucap dari bibir istrinya.

"Kenalkan, aku Kang Jimin. Suaminya."

"Suaminya?" Pria berkulit putih itu tampak terkejut. "Aku kira kau belum menikah Nona Orlena. Maafkan aku ...."

"Bukan begitu, Alan."  Seulgi berusaha hendak menjelaskan sesuatua.

"Tak apa-apa, Nona. Oh, maaf harusnya aku panggil Nyonya."

Seulgi beralih pada Jimin. "Kita akan bicara lagi nanti, di rumah," ucapnya, lalu kembali pada Alan. "Maaf, suamiku baru saja datang dari Korea, jadi dia belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Sebaiknya kita bicara di tempat lain. Mari," ajaknya pada Alan dan rekan-rekannya yang lain. Mereka pun meninggalkan Jimin sendirian.

Tak berapa lama ayah mertuanya datang. "Jimin, kau kenapa pakai pakaian seperti ini? Mau buat Seulgi malu?" tanyanya seraya bersungut kesal.

Jimin cukup terkejut karena sikap orang tua itu. Harta memang bisa mengubah segalanya. Atau mungkin dia yang tak tahu bahwa Seulgi dan keluarganya memang seperti itu. Mungkin dia terlalu dibutakan cinta.

"Kenapa malah diam saja, sih? Ayo, aku antar pulang jangan di sini. Seulgi jadi malu karena kau terlihat seperti gembel. Harusnya kau pakai pakaian yang rapi. Hargai istrimu."

"Iya, Ayah, maafkan aku," ucap Jimin lalu meninggalkan tempat itu. Dia menelepon James untuk menjemputnya lebih awal. Tinggal di rumah Seulgi membuatnya sesak karena tiba-tiba keluarga itu begitu asing.

Jimin tak kembali pulang. Dia memilih jalan-jalan di taman di areal sekitar pertokoan itu. Seorang anak kecil datang mendekat, lalu menyodorkan sebuah balon.

"Untukku?" tanya Jimin dengan bahasa Inggris. Anak itu pun mengangguk. "Terima kasih," ucap Jimin, lalu anak itu berlari meninggalkannya.

"Gadis kecil yang cantik," gumam Jimin pelan. Dia memandangi balon di tangannya. "Jika anakku dan Deph masih hidup, apa mungkin dia juga perempuan. Dia pasti akan secantik ibunya." Jimin menghela napas.

Di kejauhan James turun dari motornya. Dia melangkah mendekati Jimin setelah berbicara dengan seseorang lewat telepon genggam. "Selamat siang, Tuan Jimin."

Jimin mendongak, segera menghapus jejak air matanya saat melihat James sudah berdiri di depannya.

"Oh, kau sudah datang?" Jimin berdiri, lalu menyerahkan balon yang dibawanya. "Ambillah," ucapnya lalu pergi begitu saja.

James menyusulnya sambil membawa balon berwarna pink itu. "Tuan, ini bagaimana?" tanya James seperti orang bodoh.

"Lepaskan saja, anakku akan senang menerimanya. Anakku yang sudah ada di surga," ucap Jimin lalu masuk ke mobil.

James pun tersenyum. Dia berdiri seraya mendongak ke langit dan melepaskan balon itu. "Deph ... kau beruntung karena pria itu masih terus mengingatmu meski dia telah bertemu istrinya," ucap James tanpa didengar oleh Jimin.

Sementara Jimin dari dalam mobil terus memandangi ke arah mana balon itu terbang. "Terima hadiah ayah, ya, Nak. Di mana pun kau berada. Temukan dan terimalah cinta dari ayahmu ini. Katakan pada ibumu bahwa aku menyesal telah menyakitinya selama ini."

Tbc

Under ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang