Tiga puluh lima

112 15 8
                                    

Jimin mengerang saat merasa ada seseorang mencium bibirnya, perlahan dia membuka mata, tapi tak ada siapa pun di sana. Selain suara gesekan dedaunan yang tertiup angin,  tempat itu terlalu hening untuk imajinasinya barusan. Sepertinya dia tengah bermimpi.

Perlahan Jimin duduk untuk mengumpulkan kesadarannya. Malam telah menyapa dan tak ada siapa pun yang datang untuk sekedar menyalakan lampu penerangan. Langkah Jimin terayun lemah menuju rumah dan mulai menyalakan lampu-lampu.

Di dalam kamar Jimin terduduk. Dirabanya bibirnya yang baru saja merasakan sensasi sedikit basah dan kenyal dari bibir seseorang yang menciumnya. Jimin merebahkan diri di ranjang, pikirannya menerawang. Sesekali dia berharap orang yang menciumnya barusan akan datang lagi. Dia hanya akan berpura-pura tidur, lalu menangkap orang itu dalam kungkungannya. Namun, sayang semua itu hanya harapan semu, Jimin tak pernah bertemu dengan orang yang dianggapnya ada, padahal mungkin saja itu hanya mimpi semata.

***

Dua tahun berlalu, James benar-benar memenangkan under control game dan mengambil alih kepemimpinan. Sesuai rencana, dia pun membuat sebuah peristiwa di mana Jimin dinyatakan tewas dalam sebuah insiden kecelakaan helikopter yang akan membawanya ke New Zeland, berangkat dari pulau pribadi milik Deph. Di antara mereka, nama Jimin pun hanya tinggal kenangan.

Hari ini, Jimin turun di Icheon untuk pertama kalinya setelah begitu banyak hal yang dia lewati selama tiga tahun ini. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menghidu aroma yang begitu dia rindukan. Aroma tanah kelahirannya.

Jimin berdiri di jalan raya. Rasanya masih enggan untuk naik mobil, Jimin pun memilih berjalan meninggalkan bandara sambil menggeret koper berukuran sedang warna silver.

Tak berapa lama, Jimin duduk di halte bus. Rasanya sedikit bingung dengan tempat yang ingin dia tuju karena rumahnya di desa sudah dijual ke orang lain. Setelah menimbang cukup lama, Jimin pun memutuskan untuk mampir ke desanya sebelum memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru. Mungkin beberapa hari ke depan dia akan menginap di desa itu.

Dia pun menaiki bus kota untuk ke stasiun kereta. Jimin akan pergi ke Busan, ke Haedong-dong, desanya. Dalam kereta, Jimin memutuskan untuk tidur sejenak.

Jimin berjalan menyusuri jalanan desa. Beberapa penduduk yang memang pernah kenal dengannya, menyapa dengan ramah. Pria itu mampir ke sebuah kedai makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

"Bi San," sapanya ramah saat masuk.

Orang yang dipanggil menoleh dan terkejut melihatnya. "Lho, Jimin. Ini benar kau?"

Jimin tersenyum ramah. "Tentu saja. Buatkan aku seporsi jjajangmyon, ya, dan sebotol soju."

"Ya, ya, tunggulah sebentar."

Tak berapa lama bibi itu datang dengan makanan yang dipesan Jimin. Selain jjajangmyeon, bibi juga membawa ayam goreng.

"Makanlah. Kau kenapa kurus begini." Bibi San duduk di sebelah Jimin.

"Benarkah, Bi? Aku merasa sama saja." Pria itu terkekeh.

"Kau ini, kupikir kau tak akan pulanh karena tiba-tiba menjual rumah dan sawah. Eh, ngomong-ngomong istrimu mana? Kenapa kau pulang sendiri? Apa istrimu yang tak tau diri itu mencampakkanmu? Kau jangan sedih, lebih baik kalian berpisah saja. Aku sungguh tak suka dengan wanita itu."

Jimin kembali terkekeh. "Maafkan segala kesalahan Seulgi, ya, Bi."

"Tenang saja, aku sudah memaafkannya. Sudah makanlah yang banyak. Kalau kau kurang sesuatu katakan saja."

"Baik, Bi. Terima kasih."

Jimin sedang makan jjajangmyeon miliknya saat seorang gadis kecil menarik-narik ujung bajunya. Jimin pun menoleh.

Under ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang