Jimin menatap Seulgi yang memperlihatkan gaun barunya. Di hadapan kedua orang tuanya, Seulgi berputar-putar dengan gaun cantiknya.
"Kau sangat cocok dengan gaun itu, Sayang. Kau sangat cantik. Acara nanti malam kau pasti akan jadi pusat perhatian. Semua orang akan kagum memandangmu," ucap ibunya memuji. Sang ayah pun sama hebohnya dengan wanita itu.
Seulgi menatap Jimin karena pria itu hanya diam saja. Sudah hampir setahun Jimin ada di tempat itu dan makin lama dia merasa makin tercipta jarak di antara keduanya. Tapi, dia masih memaksakan diri untuk bertahan dan menyeimbangkan langkah dengan Seulgi. Jimin mengurus bisnisnya dari Swiss. Sebagai pimpinan mafia yang baru, dia tak bisa lepas tangan begitu saja. Ditambah wilayah kekuasaannya bertambah dengan terbunuhnya Kyuhyun dan Kevin Jo. Sesekali, Jimin terbang ke New Zeland untuk bertemu orang-orangnya, tapi sebagian besar waktunya memang dia habiskan di Swiss. Seulgi tak tahu itu, yang dia tahu hanyalah Jimin telah kembali pulang setelah menyelesaikan masa kontraknya dengan Deph. Setelah wanita itu mati, otomatis kontrak pernikahan mereka berakhir.
"Jimin ... kenapa diam saja, katakan sesuatu. Apa aku cantik?" tanya Seulgi dengan mata berbinar berharap mendapat pujian.
Jimin menghela napas. "Seulgi, bisakah kita kembali ke Korea dan kembali seperti dulu?" tanya Jimin dengan suara berat.
"Apa?!" Sontak ibu mertuanya langsung berang mendengar pertanyaan itu. "Putriku sudah bekerja keras membangun bisnisnya di sini, tapi enak saja kau mau dia jadi miskin lagi seperti dulu. Kalau kau mau hidup miskin, miskin saja sendiri. Putriku akan tetap di sini!"
"Ibu ...." Jimin masih berusaha untuk bicara dengan tenang. "Hidup kita dulu bukankah baik-baik saja. Kita cukup bahagia. Aku dan Seulgi sudah merencanakan akan menghadiahi kalian cucu dan kita jadi keluarga besar."
"Kami tak butuh apa pun lagi." Ayah mertuanya menyela. "Kami sudah cukup bahagia dengan melihat Seulgi kami tersenyum cerita setiap hari. Tidak seperti dulu yang selalu bingung tentang uang yang hanya untuk membeli sebungkus mie instan. Soal anak, aku tak terlalu berharap punya cucu. Seulgi sudah bilang kalau dia tak ingin punya anak. Dia ingin childfree, dan kami setuju itu. Punya anak hanya akan menyita waktunya dan mengubah dirinya jadi jelek."
Jimin sangat kecewa dengan apa yang didengarnya. Pantas saja setiap kali hendak berhubungan Seulgi selalu meminum obat. Seulgi bilang itu obat untuk menambah kesuburan, sekarang dia jadi berpikir kalau itu hanya obat pencegah kehamilan. Jimin menatap Seulgi dengan kecewa.
"Seulgi, apa benar yang dikatakan orang tuamu? Jangan katakan obat yang kau minum selama ini bukan obat untuk kesuburan, tapi obat ...." Jimin menggantung ucapannya.
Seulgi mengangguk. "Benar, Jim. Itu obat pencegah kehamilan. Ayolah, Jim. Tak masalah kita tak punya anak. Kalau kau mau bermain dengan anak-anak kau bisa bermain di panti asuhan. Bukankah itu lebih baik. Kau sendiri paham betapa susahnya anak-anak panti untuk bisa hidup layak." Seulgi duduk di sebelah pria itu, memegang lengannya dengan manja. "Lihatlah hidup kita sekarang. Harta kita, bisa kita gunakan untuk membantu mereka mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang layak, jadi mereka tak harus berjuang sendiri sepertimu dulu," ucap wanita itu.
Jimin semakin muak mendengar setiap kata yang keluar dari mulut perempuan yang pernah sangat dia cintai. "Tapi, aku sudah lelah hidup di sini. Aku ingin pulang dan tinggal di desa seperti dulu. Harta itu hanya titipan, hanya sesaat, tak ada yang abadi. Kelak di hari tuaku, aku ingin anak-anakku memberi kita cucu. Aku ingin mendengar suara anak-anak yang lucu. Menemani mereka bermain sepeda seperti anak-anak tetangga kita. Apa kau tak bisa melihatnya? Kita bisa hidup bahagia di desa kita, Seulgi."
Seulgi melepaskan genggamannya. Dia menghentak merajuk. "Kenapa kau keras kepala sekali, sih, Jim. Lagipula aku tak minta apa-apa. Aku juga tak minta kau bekerja karena aku sendiri sanggup membiayai hidupmu. Tapi, kalau aku harus melahirkan anak, siapa yang akan mengurus bisnisku. Apa aku harus sewa art lagi untuk mengurus mereka. Itu sangat merepotkan, Jim. Ayolah, ini sudah jaman modern. Jangan stuck dengan pemikiran anak akan buat kita bahagia. Kita bisa bahagia tanpa mereka, dan hari tua kita juga akan berakhir di panti jompo."
Jimin menatap Seulgi dalam-dalam. "Maafkan aku, aku tak sepemikiran dengan kalian. Aku lebih suka hidup sederhana di desa. Bertani seperti dulu dan mengajarkan hal-hal manis kepada anak-anakku."
"Jimin! Kenapa kau keras kepala sekali!" Ayah Seulgi membentak marah.
Jimin menoleh dan tersenyum kepada orang tua itu. "Jangan marah, Ayah. Aku hanya mengungkapkan pendapatku. Sebagai kepala keluarga, aku berhak meluruskan istriku yang sudah tersesat karena materi."
"Tersesat, siapa yang tersesat?!" protes Seulgi. "Aku bahagia dengan hidupku sekarang dan aku tak akan kembali ke Korea sampai kapanpun. Di sini semua orang memujiku, tapi di Korea sana, semua orang menghujatku karena aku menikahi pria miskin sepertimu."
"Seulgi!" Jimin hampir saja marah mendengar kata-kata wanita itu. Dia mengepalkan tangannya dan menahan diri untuk tak meledak dalam amarah. "Baiklah, jika itu maumu. Biar aku saja yang kembali. Tapi, sebelum itu mari kita selesaikan urusan kita lebih dulu."
"Urusan apa?" tanya Seulgi mulai melunak.
"Mari kita bercerai, Seulgi."
"Bercerai? Tidak, aku tak mau bercerai denganmu." Tentu saja Seulgi tak mau kehilangan Jimin. Karena dia masih bisa memanfaatkan pria itu. Karena Jimin lebih banyak diam di rumah, jadi Seulgi bisa mengurangi art dan supir pribadinya. Selama ini Jimin-lah yang membersihkan rumah dan juga jadi supir pribadinya saat Seulgi malas membawa mobil sendiri. Dengan begitu, pengeluarannya bisa ditekan lumayan banyak.
"Kita sudah tak sepaham, Seulgi. Aku tak ingin selalu terjadi pertengkaran di antara kita, dan satu lagi ... sepertinya kedua orang tuamu terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kita. Maaf, aku tak bisa hidup seperti ini lagi. Kau tak menghargaiku sama sekali. Dulu kau menjualku, sekarang kau jadikan aku pembantumu. Kau pikir aku tak tau bahwa kalian hanya memanfaatkanku?"
"Kau salah, Jim. Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu? Itu hanya perasaanmu saja."
Jimin tersenyum tipis. "Seulgi, ingat saja satu hal, kau bisa seperti ini karena aku. Karena kau menjualku, suamimu. Dan aku bisa menjatuhkanmu kapan pun aku mau." Pria itu berdiri. "Aku akan pulang malam ini juga, tunggu saja surat cerai dariku dan segera tanda tangani. Aku sudah muak melihatmu yang seperti ini. Kau bukan Seulgi yang aku cintai dulu. Kau hanya wanita yang gila materi, kau hanya wanita yang jadi budak dari kekayaanmu yang tak seberapa. Tanda tangani saja surat ceraimu nanti, atau aku akan hancurkan bisnismu dalam hitungan detik."
"Sok sekali bicaramu!" Ayah Seulgi naik pitam dia berdiri dan memukul wajah Jimin dengan keras. "Dasar manusia yatim tak tau diri! Sudah miskin dan dibuang, masih juga bicara sesombong itu!"
Ibu Seulgi pun ikut berdiri dan memeluk anaknya. "Sudah Seulgi, kalian bercerai saja, jadi kau bisa menikah dengan Alan. Alan sepertinya sangat mencintamu."
Jimin tertawa mendengar kata-kata itu. "Alan ... jadi Alan itu selingkuhanmu? Pantas saja di depannya kau tak mau mengakuiku suamimu."
"Dia hanya ingin hidup lebih baik, memang apa salahnya. Sementara kau sebagai suaminya hanya sebagai benalu yang numpang makan dan tidur saja. Bukankah dia lebih baik menikah dengan pria yang bisa menjamin hidupnya," ucap wanita paruh baya yang dianggap Jimin sebagai ibunya.
Jimin pun tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan wanita itu. "Seulgi, kurasa pilihanku untuk menceraikanmu adalah hal yang benar. Sekarang aku baru paham sifat aslimu dan keluargamu. Oh, ya, aku sangat berterima kasih karena setidaknya berkat kau aku bisa merasakan cinta yang begitu tulus dari seorang wanita. Meskipun dia mendapatkanku dengan sebuah transaksi, tapi aku bahagia karenanya. Karena aku bisa merasakan apa artinya dicintai."
Jimin meninggalkan tempat itu menuju kamarnya, dia ingin mengemasi barang-barangnya dan pergi dari sana saat itu juga.
"Jimin ...." Seulgi hendak menyusul pria itu, tapi sang ibu mencegahnya.
Jimin mengeluarkan koper dari ruang penyimpanan dan memasukkan semua barang miliknya sebanyak sampai tak ada satupun yang tersisa. Saat hendak menutup koper itu kembali, fokusnya teralihkan oleh amplop yang dia simpan di sana. Dibukanya amplop itu dan bulir-bulir bening jatuh membasahi wajahnya. Di sana masih tersimpan sobekan-sobekan photo pernikahannya dengan Deph.
"Inikah karmaku, Deph? Aku mengabaikanmu yang selalu mencintaiku, dan sekarang Seulgi menghinaku yang selalu mencintainya. Andai waktu bisa berputar kembali, dari awal pertemuan kita, aku akan jatuh cinta padamu hingga kau tak perlu berjuang begitu keras hanya untukku, Deph."
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Under Control
Ficción GeneralAdult 21+, Romance-thriller-action Under Control, ternyata adalah sebuah game yang mengharuskan Kang Jimin si pria desa menjadi seorang pembunuh. Karena satu-satunya cara untuk jadi pengendali permaiana adalah dengan membunuh semakin banyak orang. ...