Dua puluh satu

56 8 2
                                    

Dari Australia, Deph dan Jimin terbang ke Dubai. Mereka memutuskan untuk hadir di sana lebih dahulu. Dari sana mereka akan berkoordinasi dengan anak buahnya untuk mengirimkan barang berharga yang sejatinya terlarang untuk dimasukkan ke Dubai.

Dubai telah tumbuh jadi obyek tujuan wisata International, karenanya Dubai memiliki target market yang bagus untuk memasarkan barang-barang haram itu.

"Kau istirahatlah dulu. Aku mau jalan-jalan sebentar sekalian mempelajari situasi di sini. Maklumlah ini pertama kalinya aku ke Dubai," ucap Jimin setelah merapikan barang bawaannya. Deph mengiakan. Dia memang ingin istirahat setelah melewati perjalanan panjang.

Jimin pun meninggalkan hotel, sedangkan Deph perlahan terlelap dalam tidurnya. Di lobi hotel, Jimin menelepon Marcus.

"Kau ikuti saja alamat yang saya kirim, Tuan. Teman saya sudah menunggumu di sana," ucap Marcus meyakinkan Jimin tentang orang yang akan membantunya nanti.

Dari hotel tempatnya menginap, Jimin memesan taksi dan bergerak menuju tempat yang diberikan Marcus.

Hari cerah di Palm Jumeirah, Jimin menyusuri jalanan setelah taksi berhenti di dekat Hotel yang dia tuju. Entah kenapa Jimin memilih berhenti di luar hotel, dan berjalan kaki menyusuri jalan dekat hotel itu. Mungkin dia hanya tengah mempersiapkan hati untuk mengambil keputusan yang terbaik.

Suasana hangat menyambut dirinya. Langkah kaki Jimin terayun pasti, tapi hati dan pikirannya merasakan sakit yang teramat dalam. Mungkin karena jalan-jalan keliling dunia adalah impian Seulgi, membuat Jimin teringat pada almarhum istrinya. Jika saja Seulgi masih hidup, dengan uang yang mereka miliki sekarang, rasanya akan sangat menyenangkan bisa berbulan madu di pulau reklamasi terbesar di dunia ini. Dubai, bisa menjadi rangkaian kenangan indah dalam perjalanan cinta mereka. Namun, sekarang semua itu tak berarti karena kenyataan yang ada, Jimin hanya berjalan sendiri ditemani dendam yang harus dia balaskan. Rasa sakit yang diterima Deph harus sebanding dengan apa yang dia rasakan.

Jimin memandang hotel bertaraf bintang lima di hadapannya. Hotel mewah dengan iterior modern memanjakan semua mata yang melihatnya. Keindahan Dubai dengan gugusan pulau-pulau reklamasinya memang pantas diperebutkan oleh para kalangan elit. Mulai dari elit politik atau pelaku ekonomi yang memegang kendali ekonomi dunia.

Tepat di depan pos penjaga, suara dering telepon membuyarkan lamunan Jimin. Dia mengangkatnya dan Marcus memberinya petunjuk untuk mengikuti orang yang akan menjemputnya sebentar lagi. Benar saja, tak berapa lama, seorang pelayan hotel medatanginya menggunakan kendaraan khusus yang digunakan untuk antar jemput tamu di hotel itu.

"Silahkan naik, Tuan. Rekan Anda sudah menunggu Anda." Pelayan itu berbicara dengan santun dan ramah.

Jimin mengikuti tanpa banyak bicara.

Mobil listrik itu bergerak ke arah belakang hotel di mana villa-villa pribadi yang begitu mewah berjajar teratur. Jimin dibawa memasuki satu villa di mana gerbangnya dihiasi tanaman Juliet Rose yang merambat memenuhi lengkungan pintu gerbang itu. Jimin sejenak terperangah melihat betapa mewahnya tempat itu. Juliet Rose saja sudah begitu mahal, lalu semahal apa interior di dalam villa itu? Jimin tak mampu membayangkannya.

"Silakan, Tuan." Pelayan tadi mengajak Jimin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju balkon villa yang terletak di sisi kanan bangunan. Balkon itu langsung menghadap ke laut menyajikan indahnya pemandangan laut biru di kepulauan itu.

Dua orang pengawal menghentikan langkah mereka, lalu memeriksanya. Setelah semua aman, mereka pun diijinkan untuk masuk.

"Oh, kau sudah datang. Maafkan jika sambutanku kurang memuaskan," ucap seorang pria yang kini berdiri sambil mengulurkan tangannya. Di bibirnya tersungging senyum hangat yang sulit diartikan maknanya.

Under ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang