Jimin membuka rumah Deph di mana dia pertama kali datang beberapa bulan lalu. Rumah itu tampak sepi. Pelayan yang biasa membersihkannya pasti sudah pulang.
Dari awal Deph memang suka keheningan, ditambah sekarang dia menghilang, rumah itu pun kian hening seperti rumah yang sudah lama tak berpenghuni.
Jimin menyusuri lantai untuk naik ke kamar Deph. Dia melangkah dalam diam membiarkan hatinya meringis perih bagai tertusuk-tusuk ribuan belati.
Ketika pintu kamar dibuka, aroma wewangian yang digunakan oleh Deph menyapa indra penciumannya. Setitik air mata lolos begitu saja membasahi wajahnya.
Jimin meraba ranjang yang terbungkus seprai berwarna biru laut dengan motif garis-garis. Dadanya berdenyut sakit, lalu dia terduduk di sana.
"Deph ... kapan kau akan pulang, aku merindukanmu ...," ucapnya lirih. "Aku ingin meminta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu, Deph." Jimin menunduk. Air matanya kembali jatuh. Tubuhnya bergetar dalam tangisnya.
Jimin mengambil photo berbingkai ungkuran 5R yang ada di atas meja lampu hias. Itu photo pernikahan mereka berdua yang bahkan belum sempat mereka lihat bagaimana hasilnya karena insiden yang telah terjadi. Ditatapnya wajah cantik Deph yang terbalut busana pengantin yang berkilau dengan taburan manik-manik.
"Bagaimana kabar calon anak kita, Deph?" Jimin meraba photo itu. "Sebesar apa perutmu sekarang? Aku ingin sekali mendengar suara detak jantung bayi kita. Ingin sekali melihatnya berkembang di rahimmu, merasakan geraknya saat bertambah besar, merasakan bagaimana dia menendang perutmu nanti. Aku ingin menemanimu melewati masa-masa sulit kehamilanmu, Deph ...." Jimin memeluk photo itu. "Pulanglah ... kumohon ... setidaknya sekali saja, ijinkan aku jadi suami yang baik untukmu. Sekali saja ijinkan aku menjadi ayah bagi calon bayi kita ...." Dalam derai tangusnya Jimin mendekap erat photo itu. Dia menumpahkan seluruh sesalnya di sana. Sampai James mencarinya.
"Tuan, kau tak apa-apa, kan?" tanya James saat melihat keadaan Jimin yang kacau.
Jimin menggeleng. "Tak akan ada yang baik-baik saja selama aku tak menemukannya, James. Aku telah kalah, benar-benar kalah. Dia telah menghancurkanku sebegini rupa. Nonamu sangat keterlaluan." Jimin bicara lirih. Matanya sembab dan bengkak karena terlalu banyak menangis. Kakinya terayun lemah menuju mobil yang akan membawanya ke bandara.
Sebelum ke bandara, James membawa Jimin ke jembatan tempat di mana Deph jatuh dan menghilang. Dari rumah Deph, mereka bertolak ke pulau pribadi itu dengan menggunakan helikopter.
Meski telah memutuskan untuk pergi, Jimin masih tak rela untuk meninggalkan tempat itu. Tanpa dia sadari hatinya telah tenggelam di dasar sungai bersama Deph yang mungkin juga telah tenang di bawah sana.
"Deph ...." Jimin menyeka air matanya. Sesaat kata-katanya hanya tercekat di tenggorokan. "Aku tak tau kapan bisa mengunjungimu lagi ke sini. Seperti kata Kakek aku harus penuhi wasiat terakhirmu ini dengan pergi menemui Seulgi. Membangun rumah tangga kami kembali. Terima kasih untuk segalanya, Deph. Kelak ... aku sangat berharap untuk bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak di kehidupan ini, tunggulah aku di kehidupan yang selanjutnya. Akan kutebus semuanya, Deph."
Jimin melemparkan buket bunga mawar putih ke sungai itu. Bunga itu pun hanyut terbawa air yang mengalir jauh. Jimin menatapnya dengan hampa. Air mata tak berhenti menetes membasahi wajahnya.
Jimin membungkukkan badan memberi penghormatan terakhir. Hatinya menjerit sakit. Rasanya dia ingin melompat ke sungai itu dan tenggelam saja bersama Deph, tapi itu pasti membuat Deph kecewa dan terluka. Karena itu, Jimin memilih untuk bertahan.
Pria itu membungkuk untuk yang kedua kalinya. Tubuhnya gemetar, kakinya terasa lemas, tenaganya seakan-akan lesap bersama kepergian Deph. "Deph ... jangan mati dengan cara seperti ini, kumohon kembalilah ...," ucap Jimin masih mencoba menolak takdir yang telah terjadi. Hatinya masih tak rela menerima kematian Deph.
Sekali lagi Jimin membungkuk memberi hormat yang ketiga. "Aku pergi, Deph ... jaga dirimu baik-baik," ucap Jimin, lalu membalik badan dan menjauh pergi.
"Kita berangkat, Tuan?" tanya James yang sejak tadi menunggu di dekat mobil.
Jimin hanya mengangguk lalu masuk ke mobil. Dia akan kembali terbang dengan heli menuju New Zeland. Dari sana barulah terbang menggunakan pesawat pribadi menuju Swiss.
Sejak tadi Jimin hanya membisu. Hingga pesawat membawanya terbang menuju Swiss, Jimin masih mengatupkan rahangnya, tanpa sepatah kata yang keluar.
Jimin menatap keluar jendela. Awan berarak tampak indah tertimpa sinar senja, tapi Jimin sama sekali tak menikmatinya. Hari itu ketika pulang dari Dubai, Jimin pernah berkata akan hidup sendiri, lalu ketika sekarang dia sendiri kenapa rasanya sesakit itu. Bahkan berbulan-bulan berlalu, rasa sakit itu bukannya menghilang, tapi malah makin sakit.
Jimin kembali menyeka air mata yang menetes tanpa permisi. Tatapannya menerawang, pikirannya mengelana. Perlahan dia mencoba memejamkan mata. Tapi bahkan dalam tidurnya pun air mata pria itu menetes satu demi satu.
Perajalanan Jimin bisa dibilang tak ada halangan. Selain hatinya yang kian sakit karena harus meninggalkan New Zeland dan Deph, semuanya baik-baik saja. Seseorang yang ditugaskan oleh James datang menjemputnya.
Di dalam mobil menuju rumah Seulgi pun Jimin hanya diam saja. Mobil masuk ke halaman rumah. Keadaan rumah itu tampak sepi. Meski begitu, Jimin bisa tahu kalau rumah itu selalu diawasi oleh orang-orangnya. Mereka menyamar jadi petugas sampah, jadi polisi patroli bahkan jadi tetangga di kanan-kiri rumah itu.
Jimin turun dari mobil, menggeret kopernya mendekati pintu kayu yang tertutup rapat. Entah kenapa rasa rindunya pada Seulgi tak seperti dulu. Yang memenuhi pikiran dan hatinya saat ini hanya Deph. Dengan ragu, Jimin mengetuk pintu itu.
"Ya, sebentar." Suara dari dalam sana membuat Jimin membeku. Sudah lama sekali Jimin tak mendengar suara indah Seulgi. Jimin mempersiapkan hatinya untuk menemui wanita itu, memunguti hatinya yang terserak hancur karena hilannya Deph. Jimin menghapus air mata yang tiba-tiba lolos membasahi pipinya.
Tak berapa lama pintu kayu itu terbuka. Sesosok wanita berdiri dengan gaun santai motif bunga-bunga. Rambutnya yang dulu hitam lurus kini berubah blonde dan sedikit bergelombang. Lipstik yang sedikit berwarna orange menutupi bibirnya yang sensual.
"Jimin!" Wanita itu menjerit refleks menutup mulutnya. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suami yang pernah dia jual ke orang lain kini berdiri gagah di hadapannya.
"Seulgi ... maaf aku lama tak mengunjungimu."
"Jimin ...." Seulgi menghambur ke pelukan pria itu. Dia menangis bahagia. Jimin pun memeluk istrinya dengan erat. Air matanya kembali tumpah. Dia menangis dalam diam, tapi menangis entah untuk siapa.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Under Control
Tiểu Thuyết ChungAdult 21+, Romance-thriller-action Under Control, ternyata adalah sebuah game yang mengharuskan Kang Jimin si pria desa menjadi seorang pembunuh. Karena satu-satunya cara untuk jadi pengendali permaiana adalah dengan membunuh semakin banyak orang. ...