👨🎓👩🎓
"Re, mbok alon-alon maemnya," ujar Eyang putri yang masih menyiapkan belak makan siang untuk Rere. Rumah bergaya khas bangunan Belanda itu masih berdiri kokoh di tengah kota. Selalu di rawat dengan baik karena Rere sendiri suka.
Bahkan, demi pemaksaan rumah itu tidak boleh diubah siapapun, Rere ngambek seminggu dengan semua saudaranya yang berniat mengubah.
"Laper, Uti," jawab Rere sambil menyantap bihun goreng.
"Bu, Indri masih belum ngabari kita?" Eyang kakung bertanya ke istrinya yang segera menggelengkan kepala. "Anaknya baru masuk kuliah, ditanya kek, apa kek." Eyang kakung tampak tak suka dengan sikap anaknya itu. "Roby juga. Mereka gila kerja apa gila beneran sampe lupa anak sendiri," geram eyang kakung.
"Wes, toh, Pak. Mesakke Rere," gumam eyang putri.
"Udah biasa, Kung, Uti ... nggak masalah. Takut buang-buang waktu kalau telepon Rere. Time is money buat mereka." Rere tersenyum lebar. "Takut miskin juga, jadi ya ...." Rere cengar cengir.
Eyang kakung hanya bisa menghela napas panjang sambil berdiri menuju ke Rere.
"Putuku kuat, tabah, kuliah yang bener, ya. Kalau udah sukses berkarir, bisa seimbang bagi waktu sama keluarga. Uang bisa dicari, nduk, tapi kasih sayang nggak ada harganya sama sekali." Eyang kakung mengusap kepala Rere yang manggut-manggut.
"Semenjak Mamamu kenal sama lingkungan baru, semua berubah. Ya sikapnya, tingkah laku, pola pikir. Uti juga nggak kenal Mamamu lagi." Eyang uti ikut berkomentar.
"Udah, lah, Kung, Uti, pagi-pagi bahas yang berat-berat. Rere ke kampus, ya." Pamitnya menyalim punggung tangan kedua eyangnya. Tas bekal ia masukkan ke dalam ransel, segera ke garasi.
Eyang kakung dan eyang putri saling menatap sendu. "Kasihan Rere, Pak," sendu eyang uti.
"Selama ada kita, Rere akan baik-baik aja. Kalau Indri dan Roby masih ndak kabari dengan alasan beda waktu antara Indonesia dan Amerika, biarin. Bapak mau lihat sejauh mana mereka sombong dengan karirnya."
Mobil mengarah ke kampus, Rere sudah senyam senyum sejak tadi. Pak Iman, sopir andalannya ikut tersenyum juga.
"Pak ... pak ... pak! Rere turun di sini aja!" paksa Rere. Pak Iman menepikan mobil, Rere turun dengan cepat lalu mendadak memelankan langkah. Ia akan lewat warung kecil yang terlihat Zano sudah ada di sana seorang diri.
Rere punya ide. Ia segera mendekat ke warung kecil itu. "Permisi, Bu. Mau beli ...." Rere mikir dulu, ia juga bingung mau beli apa. Tangannya meraih teh rasa buah di kulkas berkaca. "Ini, iya, ini ... berapa?"
"Enam ribu, Dek," jawab si ibu. Rere memberikan uang pas, lalu mencuri lirikan ke arah Zano yang sedang menatapnya. Zano tersenyum lalu lanjut makan keripik singkong sambil melihat ke jam tangannya sesekali.
Haduh! Gue disenyumin! jerit Rere dalam hati. Ia langsung berjalan keluar dari warung.
"Rere, ya!" seru Zano. Rere keselek teh rasa buah yang ia minum, ia batuk-batuk. Zano mendekat, memberikan tisu ke tangan Rere. "Sorry, sorry, tadinya aku mau mastiin aja nama kamu Rere. Sampe keselek gini, sorry, ya." Zano menunduk untuk melihat Rere.
Sama aja tingkahnya seperti Dipa dulu saat awal dekat dengan Leta. Malah meledek Leta pendek. Namun kali ini Zano tidak begitu karena tubuh Rere cukup tinggi. Pas sedada Zano.
"Kaget aja tadi aku, Kak. Dipanggil senior gan--" Rere diam.
"Gan?" tekan Zano.
"Gan ... gan ...," gugup Rere.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔
RomanceCewek supel dan ramai bertemu cowok supel bikin baper tapi kadang misterius. Itulah Rere dan Zano. Rere mahasiswi baru langsung mengagumi sosok Zano mahasiswa semester tujuh jurusan manajemen yang juga ketua panitia ospek. Rere yang tinggal di Ja...