👨🎓👩🎓
Rere menyiapkan kebutuhan untuk kegiatan ospek jurusan. Ia masukkan file catatan, kotak pensil, notebook takut-takut dibutuhkan juga kebutuhan lainnya.
Senyumnya merekah saat melihat jas almamater warna biru navy tergantung di hanger pintu lemari. Logo kampus, jurusan, juga pin nama tersemat di dada kiri.
Tak lupa ID Card untuk absen setiap datang ke kampus. Tidak ada absen kelas tiap mata kuliah, cukup satu kali tap saat tiba di pintu lobi gedung fakultas.
"Re," panggil Eyang Kakungnya.
"Iya, Kung," sahutnya lantas segera menyampirkan tas ke bahu kanan. Ia juga meraih jas almater. Pintu kamar terbuka, Eyang Kakung tersenyum seraya mengusap wajah Rere.
"Ayo sarapan," ajaknya. Keduanya berjalan ke meja makan. Eyang uti sudah memasak sarapan. Pak Iman juga terlihat sedang sarapan di dapur bersama bibi.
"Bawa bekel lagi?" Eyang Uti memperhatikan Rere minum teh manis hangat lalu menikmati lontong sayur.
"Nggak usah, Uti, mau coba jajan di kantin kampus."
"Yaudah. Bawa buah aja, ya, Uti siapin." Uti berjalan ke lemari dapur, mengambil kotak bekal lantas memotong semangka, pepaya dan starwbery. Ditata rapi menjadi satu.
"Pak Iman jemput kamu jam berapa nanti?" Eyang Kakung tak sarapan, ia masih menatap cucunya dengan rasa bangga karena sudah masuk kuliah. Tahap pendidikan yang bisa menentukan masa depan.
"Nanti Rere kabarin, ya. Jadwalnya belum pasti. Kalau minggu depan udah fix, karena udah masuk jadwal kuliah. Kalau sekarang masih pengantar sama ospek fakultas."
Eyang Kakung tersenyum, ia lantas memberikan uang saku ke Rere.
"Nggak usah, Kung. Dari Mama Papa masih ada, rekening Rere masih gendut," cengirnya.
"Nggak apa-apa, pegang aja, nih." Uang seratus ribu dikasih ke Rere, dengan senyum ia terima.
"Re, nanti jangan nggak dimakan buahnya, ya." Eyang Uti memberikan kotak bekal ke arah Rere, segera dimasukkan ke tas ransel warna pink pucat.
Tas hadiah dari salah satu sepupunya yang tinggal di luar negeri, baru datang minggu lalu. Bukan tas abal-abal, ada merek ternama yang tersemat. Sepupunya bekerja di perusahaan fashion lokal tapi sudah mendunia mereknya, sebagai salah satu desainernya.
Keluarga Rere memang rata-rata bukan orang sembarang. Semua berpendidikan tinggi juga terpandang. Rere sendiri cucu terakhir, karena mamanya anak bungsu. Sedangkan papanya Rere anak ketiga dari lima bersaudara. Masih ada satu adiknya yang belum menikah, seorang insinyur bekerja di Jepang, diperusahaan teknologi terkenal.
"Rere berangkat, ya, takut macet." Ia pamit, lalu segera ke garasi. Pak Iman sudah membukakan pintu untuknya.
"Pak, jangan dibukain segala, kayak tuan putri aja," cengir Rere.
"Rere emang tuan putri kami semua, siap ke kampus?"
"Siap, Bos! Ayo lets go!" pekik Rere. Eyang Kakung dan Eyang Putri mengantarkan sampai mobil menjauh dari garasi. Setelah itu kembali ke dalam untuk sarapan.
Selama perjalanan ke kampus, beberapa kali Rere melihat anak-anak pemulung yang seharusnya sekolah, tapi ini justru memungut sampah. Ia miris, tak semua pendidikan merata. Rasanya ingin ia ajak semua anak-anak sekolah, namun ia bisa apa.
Kampus ramai, bukan hanya anak maba tapi beberapa mahasiswa lama juga hadir untuk isi KRS sebelum senin nanti mulai masuk semester baru.
"Pak Iman nanti Rere kabarin, ya, dadah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔
RomanceCewek supel dan ramai bertemu cowok supel bikin baper tapi kadang misterius. Itulah Rere dan Zano. Rere mahasiswi baru langsung mengagumi sosok Zano mahasiswa semester tujuh jurusan manajemen yang juga ketua panitia ospek. Rere yang tinggal di Ja...