Be gentle, Zano

859 133 4
                                    

👨‍🎓👩‍🎓

______

"Nggak bisa dong, No. Alasan lo apa? Dari tadi lo jawab bertele-tele. Bilang Rere masih anak baru lah, nggak enak sama Eyangnya karena sering pulang telat, lah. Rere jelas kok di sini sama kita ngapain aja!" kesal Bian pun pengurus inti klub lainnya.

"Voting aja. Siapa yang setuju Rere stay dan yang nggak?" sambar Lia yang diangguki Nina dan Andre. Saat voting dilakukan, para pengurus ini semua setuju Rere tetap ada di klub itu.

Zano terlihat kesal, tapi ia tak pergi dari tempat mereka duduk di sana.

"See. Lo lihat, kan." Bian menang, puas dengan jawaban rekan-rekannya.

Rere berjalan ke arah mereka, senyum merekah ceria seperti biasanya. Seolah tidak ada apa-apa.

"Kak, kita perlu kumpul bahas kegiatan, nggak?" Ia bertanya ke Zano yang memalingkan wajah. Rere diam, bingung, kenapa dengan pria itu.

"Nggak, kok, Re. Kamu mau pulang?" Lia tersenyum ramah seperti biasa.

"Iya. Mau ke rumah sepupu, Eyang Uti barusan kasih kabar."

"Yaudah, pulang aja. Sama Pak Iman?" sambung Lia. Rere mengangguk lantas pamit seraya melambaikan tangan. Ia berjalan menjauh, Ganis melihat Zano seperti kesal dengan Rere namun ia urung membahas.

Beberes selesai, evaluasi kegiatan juga hanya Zano sampaikan poin penting. Mereka pulang, tapi Bian dan Ganis menahan Zano ke parkiran motor.

"Bentar, kita bahas dulu. Ada apa sebenernya," tarik Ganis sambil merangkul Zano. Mereka duduk di warung kopi depan kampus.

"Rokok, No, biar santai," kekeh Bian. Zano menggeleng, sedang malas. Ia merokok tapi tak segila Dipa.

Zano akhirnya membeberkan apa yang ia dengar tadi. Bian dan Ganis hanya senyum-senyum.

"Nggak adil buat Rere kalau lo keluarin dia. Lagian bagus dong, Rere bisa bikin lo lupain si Ara." Ganis membakar sebatang rokok.

"Gue nggak suka kalau niat dia cuma biar bisa deket sama gue," lirih Zano.

"Tapi nggak lo giniin juga. Muka lo tadi kayak sebel lihat Rere. Itu anak polos, No. Dia juga peka. Lo mau dia mendadak murung? Nggak ceria kayak biasanya? Kalau lo nggak mau balas perasaan dia ya abaikan aja. Gitu aja ribet," pungkas Bian. Ia lantas menerima piring berisi batagor tiga porsi, memberikan ke Zano dan Ganis.

"No, lo nggak mau nyesel nantinya kalau mendadak Rere jauh atau menjauh pelan-pelan terus elo balik kejar dia. Iya kalau dia masih suka sama lo, kalau mendadak diserobot Fajar atau anak fakultas lain. Lo dapet apa? Galau lagi? Sedih lagi?" Ganis menghisap rokok, menghembuskan asap ke udara. "Dewasa, No. Bukan salah Rere suka sama lo. Perasaan nggak bisa dipaksaankan untuk ada atau menghilang. Gue ngerasain sendiri. Bencinya kayak apa gue sama Lia, gue abaikan perasaan suka gue ke dia bahkan bertahun-tahun. Ternyata apa ... sekarang gue ngebayangin nggak sama dia, bisa sekarat gue."

Bian setuju, ia mengacungkan ibi jari ke arah Ganis. "Kayak gue, lo semua tau gue sama Nina kadang bukan kayak sama pacar, tapi musuh. Dibalik itu, gue komitmen cuma sama Nina gue mau serius jalanin ini. Udah setahun gue sama dia. Tinggal beberapa langkah lagi buat sama-sama mantapkan niat lebih serius. Kita bukan lagi laki-laki yang gampang BTan soal siapa yang suka sama kita dan kita nggak suka terus nggak tau harus apa. Nggak gitu, kelesss," gemas Bian.

Zano hanya diam sambil menikmati batagornya.

"Rere nggak punya temen, orang tuanya cuek. Mentingin cari duit dan duit. Apa Rere caper dengan kenakalan? Nggak, kan? Malah dia di rumah terus. Padahal itu anak, kalau bisa kenal banyak orang, banyak main, banyak komunikasi, sisi Rere yang selama ini ketahan akan keluar. Rere mampu jalanin jadi ketua klub setelah lo lulus nanti. Rere humble, ramah mau nyapa siapa aja. Ngaco banget lo main cut dia ternyata karena ini. Cemen amat lo."

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang