Kabar buruk

914 142 11
                                    

Tes ... halo ... hai ... ok, tadinya saya nggak yakin bisa nulis apa nggak. Yang ikutin story saya di IG pasti ngerti. Sempat mau vakum dulu nulis. Iya ... ujian dateng lagi ke saya, is not easy to standing still in front of toxic parents.

Lalu saya baca komen² teman² semua dibeberapa karya saya. Nggak ngerti ya... kayak dapet semangat lagi buat kasih kalian bacaan dan ya ... you guys just like a pill when im sick. Thank you for the support dan doakan saya bisa hadapi semuanya.

Markijut!

______

"Sssttt ... udah ya, kamu bisa hadapi ini, Re." Zano terus menguatkan Rere. Ia menghapus air mata Rere dengan jemari tangannya. "Nggak ada masalah yang nggak ada jalan keluarnya." Senyum Zano bak cahaya digelapnya dunia Rere. Ia mengangguk bak anak kecil yang ngambek lalu dibelikan es krim.

"Rere!" panggil tiga orang perempuan seusianya. Rere berdiri, ia kembali menangis lalu ketiga perempuan tadi memeluknya.

"Sabar, Re, sabar ...," lirih mereka masih memeluk Rere. Zano beranjak, berdiri sambil memegang paper cup berisi kopi yang ia belikan untuk Rere.

Dua orang lainnya datang, tapi keduanya pria. Kelihatannya seusia Zano.

"Re," sapa salah satunya. Rere kembali memeluk, menangis. Zano diam, ia menatap lekat. Kok dadanya nyeri, ya, melihat Rere memeluk lelaki lain begitu erat.

"Udah, Kakung udah stabil, kan?" Suara lembut dan dalam itu terdengar dewasa, ia bahkan mengusap kepala Rere penuh kasih sayang.

Zano masih diam berdiri memperhatikan hingga Rere melepaskan pelukan lantas menoleh ke Zano.

"Kak, kenalin ... ini semua cucu-cucunya Eyang Akung dan Unti, sepupuku. Mereka yang di Jakarta, sisanya di luar kota," lirih Rere dengan wajah sembab.

Zano tersenyum lebar, nyesss ... rasa di hati penuh lega. Ia mengulurkan tangan. Menyalami satu persatu sembari menyebut namanya sendiri.

"Senior di kampus?" tunjuk Singgih, yang terlihat paling dewasa. Datang ke rumah sakit juga memakai pakaian kerja dari salah satu bank ternama. Name tag masih tergantung di lehernya dengan tali panjang warna biru.

"Iya, saya senior Rere. Semester akhir lagi skripsi." Yailah, Zano. Nggak ada yang minta jawaban panjang, iya, juga cukup.

"Yaudah. Lo bisa pulang. Kita berlima di sini temenin Rere sekalian mau ketemu Kakung dan Uti."

Zano diusir, ia diam. Semua menatapnya tak terkecuali Rere.

"Gue tetap di sini." Jawaban Zano membuat Rere terkejut, kedua iris matanya bertubrukan dengan iris mata Zano lantas senyuman tipis terulas dari bibir anak sulung papa Dipa itu.

Satu hal yang membuat Zano tetap tinggal. Mereka ada disaat Kakung sakit, tapi kemana saja selama ini. Semenjak Zano kenal Rere, rumah eyang sepi-sepi saja. Tak ada mereka datang.

Zano menaruh curiga, ia tak mau rasanya membiarkan Rere dicurangi. Gelagat itu tampak dikedua mata Zano.

Setelah mereka masuk menemui eyang kakung dan uti, para cucu kembali keluar kamar. Kakung harus istirahat pun Uti yang sudah merebahkan diri di kasur kecil yang ada di kamar itu.

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang