Jemput dia

1K 146 4
                                    

Lanjut yes!

"Lo tadi beneran caper ke Kak Zano?" cicit Putri. Rere hanya cengar cengir. "Jangan gitu lah, Re, ketauan banget." 

"Cek ombang, Put." Mereka kembali berjalan ke kantin, Agas hanya menggeleng heran dengan teman barunya itu. Tadi, saat menguping Ganis dan Lia, Rere langsung beraksi dengan sengaja makan es krimnya belepotan. 

"Norak," celetuk Agas. Rere santai aja, malah senyam senyum. "Lo nggak liat anak-anak maba lainnya langsung sinis liatin elo, Re." Agas mengarahkan pandangan ke sekitar kantin. Benar juga, namun dasar Rere, ia cuek aja. 

"Santai lah, Re. Kak Zano kepalang terkenal di sini, lo harus step by step. Cari tau dulu, dia punya cewek apa nggak? Jangan sampe elo sakit hati nantinya." Putri kembali duduk disusul Rere. Iya juga, Rere baru terpikir. Ia harus mencari tau. 

Di ruang pendaftaran. Zano membantu adiknya mengurus  semuanya. Harusnya, ikut ospek juga, kan maba. Akan tetapi karena kuasa Zano, Zena tak perlu ikutan. Nepotisme ada aja memang ya. 

"Bu, Bu," panggil Zena ke Letta yang duduk menunggu. Zano panik, ia bisa mendengar adiknya mulai jail, 

"Pa! tinggal bayar, nih! Ibu, ikut Zano keliling kampus, yok!" Segera Zano menggandeng tangan Letta. Zena tergelak sendiri. 

"Mau ngapain, Mas? Ibu udah tau kok," enggan Letta. Tapi Zano mengajak ke halaman kampus saja saking bingungnya takut Zena beneran nekat mengadu. 

Letta menggamit lengan putranya, mereka berjalan pelan ke arah taman kampus tempat para mahasiswa mahasiswi duduk-duduk santai. Begitu rindang, sehingga tak akan panas tersengat matahari siang hari bolong. 

"Bu, Mas Zano nanti pulang terlambat, ya." 

"Mau kemana dan ngapain?" Letta duduk, masih menggamit lengan Zano. 

"Ada perlu sebentar. Zano pake mobil Ibu, ya." 

"Mobilnya, kan, di rumah?" 

"Serang Mas Zano pulang, ambil mobil. Nggak pulang malam kok, Bu," bujuknya. Letta mengangguk. Pokoknya apapun yang mau Zano lakukan, pasti izinnya ke Letta, Papa Dipa tidak laku lagi. 

Letta tersenyum seraya mengedarkan pandangan. Ia senang kedua anaknya bisa kuliah di tempat yang sama, tanpa perlu memikirkan biaya. Beda dengan dirinya dulu. Mati-matian mengejar beasiswa bahkan membiayai tambahan uang kuliah jika diperlukan seorang diri. Bekerja apa saja asal bisa bayar pendidikannya. 

"Mas, awasin Zena, ya. Jangan berulah lagi. Kasihan Papa," tukasnya. 

"Tenang, Bu. Zena aman di sini. Ibu udah makan belum? Papa izin nggak kerja, ya?" 

"Papa cuti. Ibu udah makan, kok, tadi waktu pulang dari sekolah. Ibu juga izin pulang cepet. Eh iya, Mas, mau ada reuni SD, bulan depan kayaknya, kamu bisa hadir, kan?" 

"Anak SD ada reuninya juga?" Zano terkekeh. 

"Ya ada, dong. Angkatan Zena malah mau tampil nari saman lagi." Letta tersenyum. Tak lama Zena dan Dipa menghampiri sambil menunjukkan wajah sama-sama kesal. Apalagi ini? 

"Kenapa?" Letta segera berdiri, ia mendekat ke Zena yang tampak kesal dengan Dipa. 

"Papa, Bu, masa bilang kalau Zena bakal jadi mahasiswi tertua di angkatan ini. Heran, anak sendiri di ledekin melulu," dumal Zena. 

"Masss," tegur Letta bernada halus. 

"Haduh, kalau Ibu udah manggil pake nada begitu Papa mau buru-buru pulang." Dipa mengedipkan sebelah mata ke arah Letta. 

"Ampun, deh, nih aki-aki!" celetuk Zena. Ia lalu duduk di samping Zano yang melirik tajam. "Aman, Mas, mulut gue terkunci rapat," bisik Zena. Zano merangkul Zena. "Jajanin, ya. Gue mau nanti malem makan burger ekstra keju." 

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang