Ada yang ganjal

844 130 4
                                    

"Jadi gimana, mau kalau kamu diusulkan jadi ketua klun peduli sesama periode selanjutnya, Re?" tukas Zano saat ia sudah menjelaskan panjang lebar. 

"Ya, nggak tau juga, sih, Kak. Aku tertarik tapi kayaknya lebih enak ikutin kegiatannya dulu, sambil aku belajar lebih paham. Learning by doing. Gimana?"

Zano menutup layar laptopnya, mengangguk setuju seraya mengacungkan ibu jari. Zano meneguk kopi yang tinggal sedikit di dalam cangkir. Bolu pisang buatan Eyang Uti sudah ludes mereka makan. 

"Re, yakin nggak ada yang ngapelin?" serempet Bian. 

"Nggak ada. Lagian Kak Bian ngapain tanya-tanya begitu?" cicit Rere jengkel hingga menyipitkan mata menatap Bian yang tertawa pelan. 

"Ya, nggak apa-apa, kali aja ada yang mendadak besok-besok dateng ngapelin kamu." Bian cengengesan. Rere salah tingkah sendiri karena Zano hanya tersenyum tipis lantas memasukkan laptop ke dalam tas yang dibawa. "Nina boleh ke sini, nggak, Re? Males juga malam mingguan kelapan. Eh tapi ganggu Eyang kamu nggak?" Biar lupa, seenaknya saja ia mengajak Nina ke rumah Rere. 

"Boleh, kok. Eyang kakung sama Eyang Uti malah seneng aku  kedatangan temen-temen." Rere meneguk es teh yang dibuat bibi. 

"Emang, selama ini nggak ada yang ke rumah?" Bian duduk tegak, rasa penasaran akan Rere bangkit. 

"Ada, tapi secuil. Aku lebih sering sendirian di rumah, kalaupun pergi sama Eyang atau sepupu yang masih bisa. Mereka sibuk rata-rata. Ajak aja Kak Nina ke sini. Asal jangan Kak Ganis! Aku masih kesel pingin nabok dia waktu bikin Kak Lia pingsan. Gregeta banget, ada cowok begitu sikapnya ke cewek. Padahal suka dan sayang. Idih ...! Malu!" kesal Rere. Bian senyam senyum sembari mengirim pesan ke Nina. 

"Re, boleh numpang ke toilet?" izin Zano. 

"Boleh, ayo, aku antar." Rere beranjak. Ia dan Zano berjalan ke dalam rumah. Eyang kakung dan Eyang putri sedang nonton TV sambil mengobrol santai. "Permisi, Eyang, izin ke toilet," ujar Zano. 

"Silakan, Zano, silakan," jawab Eyang kakung. Zano tersenyum, ia masuk ke toilet dekat dapur bersih. "Re," panggil eyang kakung. 

"Iya, Kung," jawab Rere menghampiri. "Beli makanan ya, makan malam di sini rame-rame. Uti nggak masak banyak, nggak tau senior kamu masih di sini sampai jam enam sore ini." 

"Boleh, Kung. Oh, iya lupa, senior Rere mau dateng lagi, Kak Nina, apa boleh kalau mereka main di sini malam ini, Kung?" Saat bicara Rere bersimpuh di samping kursi yang diduduki eyang kakungnya. Ia tau menjaga sopan santun bicara dengan orang tua. 

"Boleh, sayang. Ajak temen-temenmu, mau senior, junior. Akung seneng kamu nggak kesepian," ujar eyang kakung seraya mengusap kepala Rere. Zano melihat itu saat baru keluar dari toilet. Terlihat Rere tersenyum menggemaskan saat tangan keriput eyang kakungnya mengusap kepala gadis itu. Zano berjalan keluar sambil melihat suasana rumah bagian dalam. Nyaman banget ini rumah. klasik dan tenang. batinnya. 

Bibi dan Pak Iman pergi membeli makanan juga beberapa minuman. Nina datang pukul tujuh, ia mengajak Lia juga. "Hai, Re! Ya ampun jadi kumpul di rumah kamu!" sapa Nina. 

"Nggak apa-apa Kak Nina, seru malah. Masuk-masuk, mau di teras apa di dalam?" tawar Rere. 

"Teras aja, adem." Nina melepas sandal, lantas berjalan ke teras. "Re, klasik banget rumahnya, udah jarang di Jakarta. Keren, lho!" puji Nina. Lia setuju, bahkan rumahnya yang sangat mewah, ada lift segala,tapi tidak nyaman menurut Emilia. 

"Eyang uti sama Eyang kakung ngerawat banget rumah ini, aku juga suka. Kurang suka yang terlalu kekinian." Rere duduk. Kursi dari dalam di keluarkan Pak Iman supaya para senior nyaman saat duduk. 

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang