Kok jadi begini?

1K 119 5
                                    

Lanjut ah!

________

Zano mengerjap matanya cepat. Kaget karena Rere mendadak balik bertanya. Nah, emang enak?! 

"Udah sana ke kelas," usir Zano. 

"Nggak mau jawab?" tekan Rere lagi. Zano menggelengkan kepalanya. Rere masuk  ke dalam lift, lalu tersenyum hingga matanya membuat garis lurus. Saat pintu lift tertutup, Zano tersenyum tipis. 

Kok gue senyum, batin Zano. Ia gelengkan kepala menghempaskan suara hatinya lalu berjalan ke lorong tempatnya nongkrong dengan teman-temannya. Menikmati sisa waktu selama masih menjadi mahasiswa, ya walau Zano akan melanjutkan S2, tapi tidak akan bisa nongkrong lagi. 

Ponsel Zano menunjukkan notifikasi masuk. Nomor Ara. Ia membaca tapi tak di balas. Begini isi pesannya ; 

[No, apa kabar? Kita nggak bisa ngobrol baik-baik? Aku kangen.] 

Jika Zano nekat, resiko besar di depan matanya. Bukan lagi Dipa akan membawa sapu lidi, tapi bisa-bisa motornya diberedel habis lalu dijadikan rongsokan. Tidak mau itu terjadi, ia abaikan pesan dari Ara. 

Namun, siapa sangka. Ara yang sedih karena Zano tidak membalas pesannya, duduk dengan kedua mata sembab, memeluk dirinya lagi karena berada di tempat papanya menyembunyikan dirinya sementara waktu. Apa alasannya? Hanya Sigit dan Ara yang tau, tak perlu di bahas sekarang. 

"No, kalau gue ngelamar Lia setelah wisuda, menurut lo gimana?" Ganis duduk di lantai berhadapan dengan Zano yang terkejut. 

"Harus minta restu Papanya, lah! Nggak bisa nikah diem-diem." 

"Nyokap bokap gue mau ketemu Papa Mamanya Lia, apapun resikonya mau ketemu." 

Zano lagi-lagi terkejut, bukan main orang tua Ganis yang memang sudah kenal Lia yang merupakan perempuan baik padahal anak pejabat juga pengusaha tajir. 

"Bokap gue perlu ikut?" Zano sudah bisa menebak, pasti Ganis akan meminta bantuannya. 

"Ya, kalau Om Dipa mau. Bokap lo kan ahli negosiasi. Kali aja Papa Mamanya Lia patuh. Lia udah bilang, nggak masalah ortunya nggak dateng pas dia nikah, asal diizinkan." Ganis senyam senyum sendiri. "Gue nggak nyangka Lia begitu. Sekeras itu untuk bisa ada di sisi gue seumur hidup. Gue boleh GR dong, kalau Lia itu juga most wanted banyak cowok yang jauh lebih hebat dari pada gue tapi justru milih gue yang udah bikin dia dua tahun lebih nahan rasa suka dan sayang ke gue." 

"Lo aja bego. Kelihatan dari dulu kalau Lia bukan cewek yang mandang kelas. Dia aja eneg sama hidupnya yang apa-apa diatur supaya tetap ada dilingkungan kelas atas. Perempuan yang mau diajak susah itu udah seribu banding satu, Nis. Lo harus banyak bersyukur." Zano mulai mengeluarkan nasehat bijak, padahal dia sendiri, ah sudahlah, begitu kan. 

"Lo sendiri gimana. Ara?" cicit Ganis. 

Zano tersenyum tipis, "gue takut bokap kecewa. Lo tau gimana Papa, kan? Nggak tau, lah, sama siapa gue nanti akhirnya, yang pasti Papa setuju, ya gue jalanin." 

"Om Dipa setuju sama Rere, nggak!" seru Ganis. 

"Kok lo bisa bilang gitu!" curiga Zano kambuh. "Zena ya. Lo gosipin gue sama adek gue?!" tegas Zano. 

Ganis menggelengkan kepala. "Zena nggak cerita apa-apa, adek lo sibuk kuliah. Malu katanya, kuliah bareng anak baru. Harusnya dia udah ada di tengah proses kuliah, malah pindah dan mulai dari awal. Jurusan baru juga." 

"Terus? Kenapa lo bilang gitu?" 

"Diantara kita semua yang sering bahas gebetan, pacar, sampai taksir-taksiran sama siapapun, cuma elo yang lagi nggak sebut atau dekat sama seseorang setelah kelar sama Ara. Oke, mungkin karena lo baru putus, tapi Rere tanpa lo sadarin ada disekeliling lo, No. Nggak mau lo coba deketin, lebih deket gitu, lho. Sambutan keluarganya baik ke elo. Lo tau hidup dia di rumah doang, nggak bergaul kayak anak seumurannya. Baru sama kita aja dia boleh pulang malem, pergi ke mana-mana, apa lo nggak ada sedikit rasa tertarik sama Rere?" 

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang