Serangan Jantung

1.2K 159 10
                                    

Keduanya sama-sama tak mau jujur. Baik Zano maupun Rere memilih untuk menghindar dari saling bertanya tentang hatinya. Namun, pada akhirnya saat Zano menunjukan layar ponsel yang terpampang ia mengubah nama Rere yang awalnya 'Maba-Rere' menjadi 'Cewek gemesin'. Rere mendadak blushing, itu pipi merah merona sampe ia harus menepuk-nepuk sendiri wajahnya setelah membaca namanya di ponsel Zano.

Tunggu, lalu apa maksudnya? Harus ada kejelasan, dong. Kalau cuma ubah nama ya ... masih biasa.

"Kenapa senyum-senyum gitu? Malu?" cicit Zano. Ia masih terus memperhatikan Rere yang salah tingkah. Iya lah, udah diajak makan es krim, di kampus dijaga pake gandengan tangan. Cewek mana yang nggak jadi baper.

"Malu, lah." Rere lanjut makan es krimnya.

Zano tersenyum hingga matanya menyipit, ia geleng pelan kepalanya karena tingkah laku dan reaksi Rere yang baginya memang lucu. Mampu membangkitkan ketenangan juga beban pikirannya lepas.

"Eh iya, kapan kita ke rumah Icha lagi, Kak? Aku tuh kepikiran, kenapa kampung pemulung nggak dirapihin sama pemerintah setempat. Apa karena KTP mereka nggak sesuai domisili?"

"Bisa jadi. Kasihan mereka, cari nafkah di Ibu kota, coba untuk ubah hidup dari kampung, tapi dianggap masalah baru. Memang, ada juga mereka yang di kampungnya hidup di atas sederhana, tapi kan nggak semua. Pendataannya harus akurat."

Rere mengangguk. Ia diam, berpikir. Zano tau karena pandangan Rere tidak ke arahnya, tapi seperti ingin memberikan solusi untuk mereka. "Kamu ad aide apa? Bahas sama aku, Re."

Rere mengarahkan duduknya menghadap Zano, ia letakkan sendok ke mangkok es krim dahulu.

"Gini, aku kepikiran, apa kita nggak bisa minta sumbangan donatur untuk rapihin tempat tinggal mereka yang rata-rata bedeng reot. Nggak ada bangunan permanen, Kak. Kamar mandi aja numpang di mushola, bagus pengurusnya kasih izin asal bersih atau ya dibersihkan."

"Nggak gampang, Re. Harus tau tanah itu punya siapa. Kita nggak bisa main ubah kalau yang punya tanah nggak setuju. Bisa dituntut nantinya."

"Ya kita cari tau. Kita telusuri satu persatu. Miris aja, sampe ada tetangganya sakit karena nggak makan mereka cuek."

Zano tersenyum, "ada sebagian orang yang akhirnya nggak peduli orang lain susah karena merasa dia juga susah. Padahal, kadar susah setiap manusia beda-beda. Bisa aja kita lagi susah, ternyata ada yang lebih susah dan kita bisa bantu walau sedikit. Ya, kan?"

"Setuju banget, Kak." Rere mengangguk tegas. Rere menghabiskan es krimnya lantas minta pulang. Bukan untuk drakoran, ia ada tugas statistic satu dan tugas kelompok mata kuliah pengantar bisnis. Rere bukan tipe orang yang mengerjakan tugas nanti-nanti, tapi lebih cepat lebih baik.

Zano beranjak setelah es krim keduanya habis. Ia bahkan memakaikan helm ke kepala Rere lagi, merapikan rambut Rere supaya tidak menutupi matanya.

"Besok aku siapin helm khusus buat kamu." Zano naik ke atas sepeda motornya.

"Buat apa?" Rere menyusul naik ke boncengan.

"Berangkat pulang kampus sama aku. Aku izin ke Eyang nanti." Deru knalpot motor membuat Rere terkejut, sontak tangannya memeluk pinggang Zano yang tersenyum tipis melihat Rere dari kaca spion.

Jalanan ramai karena berbarengan dengan orang pulang kerja. Kemacetan tidak terhindari lagi. Rere justru menikmati, ia tak pernah merasakan macet-macetan naik motor, apalagi sekarang sama gebetan. Rasanya polpolan seneng.

Zano menoleh ke arah Rere, "telat sampe rumah, nih, nggak masalah, kan?" Rere menjawab dengan gelengan kepala. Tiba-tiba kaca mobil sebelah yang sama-sama terjebak macet terbuka.

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang