Yuk lanjut!
Zano merenung di kamarnya, tak bisa tidur karena harus menyampaikan jika tidak bisa melanjutkan hubungan dengan Ara. Ya, mau bagaimana lagi. Dipa sudah memerintah, Zano harus menuruti. Ia juga membuas kesalahan yang bagi Dipa fatal.
Hingga pagi menjelang, Zano tetap tak bisa tidur, ia terjaga padahal hari minggu itu ia sudah janji akan makan siang dan nonton dengan Ara. Terpaksa ia batalkan karena Dipa. "Mas, mau ikut jemput Adek, nggak?" sapa Zena sambil membawa mangkuk berisi sereal dan susu. Ia duduk bersila di atas ranjang Zano yang menatapnya sendu.
"Udah lah, gimana juga Papa nggak asal ambil keputusan, Mas."
Zano duduk, mengambil mangkuk dari tangan Zena, ia menyuap dua kali. Sambil mengunyah ia tatap kedua mata adiknya. "Mau bantuin gue cari tau kenapa Papa begitu?"
"Ogah. Gue takut kena semprot." Zena meraih mangkuk lagi. Zano mendengkus lantas bersandar pada kepala ranjang. Buat apa juga Zena bantu, ia juga tak sreg kakaknya pacaran sama Ara.
"Mobil gue mau dijual Papa."
"Kenapa?" Zano memeluk guling.
"Katanya mobil gue udah ternodai," kekeh Zena. Ia makan lagi, sedangkan Zano meraih botol air mineral, diteguk perlahan. "Mas, lo tuh fokus skripsi aja, deh. Bukannya mau magang, eh apa riset, ya? Apa dulu, sih!"
"Dua-duanya bisa. Gue nggak magang juga bisa asal dapet datanya."
"Di mana?"
"Kantor Papa aja."
"Idih, curang amat. Cari perusahaan lain, kek. Nggak kreatif lo!" sindir Zena. Zano masa bodo, tak mau peduli yang penting skripsi selesai, lanjut S2 sambil bantu urus yayasan pendidikan milik Letta.
"Gue nggak tega, Zen, kasih tau Ara. Gue sayang banget sama dia."
Zena melirik, "sayang apa karena lo udah ngerasin sentuhan dan belaian dia di bibir lo, Mas?"
"Resek, lo!" Zano menjitak kepala Zena saking kesalnya.
"Mas," suara Dipa terdengar seraya membuka pintu kamar. "Kereta Adek sampai stasiun jam sepuluh. Ikut jemput, nggak?"
"Ikut, Pa." Zano beranjak turun dari ranjang, tubuhnya seperti melayang karena kurang tidur. Dipa yang melihat hanya bisa menepuk bahu putranya, menguatkan juga berterima kasih sudah nurut.
Stasiun kereta. Mereka berdiri di tengah lobi menunggu si bungsu pulang. Entah kabar apa yang di dapat, menang atau tidak, pihak sekolah masih merahasiakan. Pun saat video call dengan Zaver, putranya tidak memberitahu.
"Bu, kenapa bawa buket camilan? Ibu bikin kapan?" Zena menggamit lengan Letta yang berdiri menunggu putranya muncul.
"Semalam. Ibu nggak bisa tidur, jadi ya bikin aja."
"Mikirin Mas Zano?"
Letta mengangguk. "Papamu keras kalau udah ambil keputusan, Ibu mau bujuk juga ragu."
"Nggak usah, Bu. Biarin aja. Udah keputusan tepat."
Letta menoleh. "Pasti kamu tau sesuatu. Jujur sama Ibu," paksa Letta.
"Nanti Zena cerita, nggak sekarang."
Rombongan Zaver muncul, bocah itu senyam senyum sambil memamerkan piala juga medali emas yang dikalungkan pada lehernya.
"Adekkk!" teriak Zena lalu berlari. Ia lompat-lompat girang karena sudah menebak adiknya juara. Memang tak diragukan soal keahlian Zaver beladiri karate. Zano yang kala itu memakai kaos oblong putih dipadu celana denim hitam dan sepatu sneakers hitam, tersenyum penuh bangga sambil berjalan mendekat ke Zaver.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔
RomanceCewek supel dan ramai bertemu cowok supel bikin baper tapi kadang misterius. Itulah Rere dan Zano. Rere mahasiswi baru langsung mengagumi sosok Zano mahasiswa semester tujuh jurusan manajemen yang juga ketua panitia ospek. Rere yang tinggal di Ja...