👩🎓👨🎓
Rere diterima kerja di rumah produksi film ternama. Ia masuk ke divisi manajemen strategi. Terbilang lulusan baru tapi karena pengalaman magang Rere menjadi pertimbangan perusahaan yang butuh ide segar apalagi Rere lulusan kampus luar negeri.
Zano amat bahagia, tak bisa menutupi itu bahkan sampai membelikan hadiah tas kerja baru untuk Rere yang ia berikan saat menjemputnya bekerja.
Senyuman Rere yang senang dibelikan hadiah tak sebanding dengan kebahagiaan Zano bisa menemani Rere merintis karir juga bersama dengannya meniti masa depan.
"Mama Papa kamu, udah cerita kalau Papaku telepon dua minggu lalu?"
"Iya. Dan ya ... kamu kayak nggak tau aja, Kak. Tetap aja nolak. Eh tapi ... kamu coba yang bujuk Papa biar restuin kita dan pake wali hakim nanti pas nikah. Gimana, Kak?" Rere menaik turunkan alis matanya.
"Iya, nanti aku hubungi mereka. Gimana kerjaan? Asik? Udah seminggu kamu kerja."
Rere mengangguk. "Seru. Kantornya nyaman, teman-teman baik, bosnya asik. Lingkungannya oke menurutku. Kamu gimana di Yayasan punya Ibu?"
"Sesuai bayangan. Ya walau sewa satu lantai di bawah kantor Papa, bisa dibilang oke juga. Papa bisa awasi kerjaanku. Lagian Ibu masih urus beberapa hal lagi sebelum sekolah fix jadi dan murid-murid angkatan pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru nanti."
"Cieee ... Pak Ketua Yayasan, masih muda ... ganteng, kurang apa coba?" lirik Rere seraya tersenyum bangga.
"Kurang Ibu ketuanya. Mau dinikahin cepet-cepet masih nunggu restu." Zano mengusap kepala Rere. Ia mengemudikan mobilnya hasil hibah dari Zena. Dipa menarik mobil Zena supaya dipakai Zano. Zena sendiri hanya bisa pasrah. Si sulung kembali, kekuasaan di rumah pun pindah ke anak paling tua.
Keduanya makan malam di luar, warung tenda kaki lima hidangan laut. Rere memesan udang saos padang dan ikan bakar kesukaan Zano.
Pria itu sibuk membalas pesan dari Bian secara diam-diam, tak mau Rere tau. Saat Rere kembali duduk di bangku plastik warna biru tepat di samping kanan Zano, ia tak menaruh curiga sejak tadi Zano membalas pesan singkat dari Bian.
"Kak Zano," panggilnya sambil menatap.
"Ya, sayang." Duh! Rere melting lagi, ia mengulum senyuman. Zano menyelipkan helai rambut Rere yang menutupi pipi kanannya ke balik telinga. "Mau tanya apa, hum?" Zano yang bibirnya merah alami tersenyum begitu tampan.
"Mau punya anak berapa nanti?"
Pertanyaan Rere membuat Zano diam tegang. Otot-otot tubuhnya kaku. Mendadak Rere bertanya hal itu. Otomatis, otaknya mengarah ke cara membuat anak. Seketika ia merinding. Jujur, ia tak pernah disentuh perempuan manapun, minim pengalaman bahkan sekedar nonton video biru saja tak pernah. Lain dengan Ganis dan Bian yang memang agak sedeng untuk hal itu.
"K-kok, tanya itu?" Zano salah tingkah. Matanya menatap ke sembarang arah. Grogi niyeee ....
"Ya emang kenapa. Kan tujuan kita nikah pasti punya anak, kan? Kak Zano kenapa mukanya merah gitu? Nahan mpup, ya?" bisik Rere. Ya ampun si bungsu suka terlalu polos juga. Bukan nahan itu, Re, tapi panik membayangkan malam pertama kalian!
"Kamu aja yang pilih. Hak kamu. Karena kamu yang hamil." Zano menatap lurus ke tukang masak yang berjarak tiga meter dari tempat mereka duduk.
"Aku sih terserah Mas suami nanti." Rere senyam senyum lagi sambil menundukkan kepala. Zano melirik sangat pelan.
"Satu aja kali ya, Re. Aku takut badan kamu sakit waktu lahirin anak kita nanti." Keduanya saling melirik.
"Nggak kasihan? Sepi nanti rumah kalau anak kita cuma satu, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔
RomanceCewek supel dan ramai bertemu cowok supel bikin baper tapi kadang misterius. Itulah Rere dan Zano. Rere mahasiswi baru langsung mengagumi sosok Zano mahasiswa semester tujuh jurusan manajemen yang juga ketua panitia ospek. Rere yang tinggal di Ja...