Jut lanjuttt
______
Lambat laun, semakin Rere terlihat lebih sering bersama Zano dan teman-temannya. Nama Rere pun terkenal. Para senior dan junior melihat itu seperti satu genk yang mengasuh anak kecil.
Putri dan Agas sesekali berada di dekat Rere, mereka tau usaha Rere untuk mengenal Zano sangat serius, mereka mendukung tanpa mau terlalu dalam mencampuri.
Siang itu, Rere baru dari kantin bersama Putri dan Agas, ia dicegat tiga orang senior dari jurusan lain. Bukan cowok yang saat itu titip salam untuk Rere, ada lagi, setahun di bawah Zano. Mahasiswa semester enam.
"Rere, ya," sapanya ramah. Rere mengangguk. "Gue Fajar," ucapnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
"Rere," balasnya seraya menjabat tangan seniornya.
"Boleh minta nomer WA, nggak?" Fajar tersenyum. Ia tampan, hanya saja potongan rambutnya cepak. Hidungnya juga mancung, keturunan Arab.
"Mmm, maaf, nih, Kak, bukannya nggak mau, tapi...."
"Re," suara Zano terdengar. Ia berjalan dari arah belakang. "Ngapain, Jar?" tegur Zano.
"Kenalan sama Rere," jawabnya santai.
"Oh," hanya itu respon Zano. Ia masih berdiri menunggu.
"Gimana, Re?" Fajar masih menatap penuh harap.
"Nomor Rere keblokir, mau ganti. Gue aja temennya nggak bisa hubungin dari tiga hari lalu. Yuk, Re, ke kelas!" ajak Putri seraya merangkul Rere.
Fajar diam, ia melirik tajam ke Zano yang tersenyun sinis.
"Bukan siapa-siapa lo, kan, No!" tegas Fajar.
"Siapa? Rere?" langkah Zano terhenti. Rere sudah berjalan jauh di depan.
"Iya, lah!" sewot Fajar.
"Urusan lo apa? Mau Rere siapanya gue," sinis Zano lagi.
Fajar kesal, ia lantas tersenyum sinis juga. "Masih dendam sama gue karena dulu gebetan lo lebih milih gue dibanding lo!" tekan Fajar dengan tatapan songong.
"Gue nggak dendaman. Biasa aja." Zano menoleh ke Rere yang sudah naik tangga karena kelas selanjutnya di lantai dua. "Jangan deketin Rere." Hanya itu, lantas Zano berjalan ke arah ruang dosen untuk bimbingan skripsi. Fajar mendengkus sebal, tapi ia tak menyerah. Ia tau Zano tak suka bersaing, apalagi soal cewek. Jika Fajar gencar, Rere bisa didekati.
Persiapan acara bakti sosial semakin matang. Rere sibuk diminta mendata ulang semuanya. Sudah pukul delapan malam. Mereka masih di ruang klub.
"Makan dulu," kata Zano seraya duduk di atas karpet, membawa tiga box pizza. Semua sumringah, pun Rere yang langsung menggeser duduknya. Zano tersenyum karena Rere langsung ikut makan.
"No, lo juga makan," tegur Lia. Ganis ada di ruangan itu juga, menunggu Lia selesai kegiatan di sana. Tangan Ganis menyelipkan helai rambut Lia yang menutupi pipi ke balik telinga. Rere senyum senyum melihat itu.
Lain hal dengan Zano, ia meletakkan tas ransel di samping Rere lantas merebahkan diri. Kepala Zano menempel di paha kiri Rere yang memakai celana jeans.
Rere diam, berhenti mengunyah lantas melirik. "Gue rebahan bentar, ya, capek banget hari ini," tukasnya lantas memejamkan mata.
"Slow, No, tidur aja dulu," ujar Ganis. Zano tersenyum tipis lantas memejamkan mata. Kedua satu tangan menutup matanya supaya tidak silau terkena cahaya lampu.
"Re," panggil Lia pelan. Rere tersadar, sejak tadi ia melirik ke Zano. Ia menatap Lia. "Makan," lirih Lia. Rere mengangguk. Ia lanjut makan dengan menutupi debaran hati juga salah tingkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔
RomanceCewek supel dan ramai bertemu cowok supel bikin baper tapi kadang misterius. Itulah Rere dan Zano. Rere mahasiswi baru langsung mengagumi sosok Zano mahasiswa semester tujuh jurusan manajemen yang juga ketua panitia ospek. Rere yang tinggal di Ja...