Jeda

1K 157 8
                                    

Namanya cinta dan sayang, dua hal yang susah bagi manusia untuk menghindar. Zano pun sama, ia tak bisa tidur memikirkan Ara. Bagiamana bisa Ara terjebak dipusara barang haram juga tingkah laku asusila. Zena masuk ke kamar Zano saat pagi datang, ia sudah siap berangkat ke kampus tapi tidak dengan kakaknya.

"Nggak ngampus, lo?" Zena langsung naik ke atas ranjang.

"Nggak. Badan gue capek banget."

"Capek badan atau hati?" sindir Zena. Zano hanya diam. "Mas, kan udah jelas dia nggak baik. Kenapa lo kayak mikirin terus. Lo mau jadi pahlawan kesiangan Ara?"

"Berisik." Zano menutupi dirinya dengan selimut.

"Ye, dibilangin. Di depan mata ada yang jelas tulus sama lo, malah lo cuekin." Zena menindih Zano yang bergeliat dalam selimut tapi Zena tak peduli. "Rere japri gue, di nggak kuliah juga. Katanya Eyang Kakung drop lagi." Zano hanya diam. "Lo nggak mau temenin dia di rumah sakit?" Masih tak menjawab. Zena membuka selimut yang menutupi kelapa kakaknya. Ia cium pipi Zano lalu beranjak. "Terserah lo, lah!" Zene berjalan keluar kamar tapi kembali lagi. "Mama Papa pergi, mau cek kantor cabang. Tiga hari. Kata Papa makan beli aja. Udah transfer ke elo duitnya. Bye!" Pintu ditutup Zena, dari suaranya terdengar ia berangkat bersama Zaver juga.

Zano menyibak selimut, ia diam menatap jendela kamar yang tirainya sudah ia buka sejak pukul lima pagi. Pikirannya menerawang jauh ke dua gadis yang membutuhkan pertolongannya tapi ia bingung siapa yang akan dibantu.

Jika ingat buku harian Rere, ada rasa senang karena gadis itu memang menyukainya tapi tak agresif seperti Ara, namun saat ia mengingat Ara mendadak rasa sakit dan sedih di hati kembali muncul.

Pukul sembilan Zano turun, ia melihat bibi sudah selesai merapikan rumah dan sekarang sedang menyiram rumput juga tanaman di halaman samping. "Bi, Ibu nggak ngajar, dong? Ikut Papa?"

"Iya, Mas. Ibu izin. Pak Dipa minta ditemenin."Bibi lanjut menyiram dengan selang. Di dalam hati, ia merasa papa dan ibunya begitu enggan berjauhan. Ia iri, dengan siapa bisa merasakan hal serupa. Sembari meneguk kopi yang ia buat sendiri, pikirannya terus mencari jawaban apa yang harus ia lakukan.

"Mas Zano, kata Pak Dipa disuruh baca kertas yang ada di meja makan terus ke ruang kerja Pak Dipa kalau udah baca."

"Iya." Zano beranjak, berjalan ke dalam lantas melihat kertas yang Dipa tulis tangan. Isinya ....

Mas Zano, Papa sama Ibu udah pikirkan ini. Demi masa depan kamu. Kalau kamu yakin, turuti kemauan kami. Kalau nggak, ya sudah nggak masalah. Papa dan Ibu tiga hari di luar kota, jangan betingkah apalagi ketemu Ara. Papa punya mata-mata yang bisa tau kamu ke tempat rehab itu atau nggak. Pikir pakai logika, jangan kebawa perasaan kalau nggak mau kayak Papa dulu.

Zano menghela napas panjang, langkahnya mengarah ke ruang kerja Dipa di kamar. Kamar Dipa sangat rapi, Zano tau papanya tidak suka hal yang berantakan. Segera ia duduk di kursi kerja sang papa, ada dua brosur kampus di luar negeri yang seketika membuat Zano tau tujuan orang tuanya.

Ia baca yang pertama, kampus di Amerika dan satu lagi kampus di Selandia Baru. Zano menyalakan laptop Dipa, tak lama muncul foto mereka berlima yang dijadikan wallpaper oleh Dipa. Senyum tipis Zano tunjukkan, ia bahagia bisa memiliki keluarga bahagia juga harmonis.

Jemarinya lantas mengetik dua nama kampus itu, ia pelajari dengan seksama. Bahkan membuat catatan kecil sebagai pengingat. Tak lama lagi skripsi selesai, ia juga akan sidang lalu lulus.

Dalam kembimbangannya, Zano akhirnya tau harus melakukan apa untuk diri juga hatinya. Ia mengirim pesan singkat ke papanya dengan kalimat, Mas Zano ikutin mau Papa dan Ibu. Setelahnya ia duduk bersandar, memandang kesekeliling kamar orang tuanya hingga berakhir di foto keluarga yang terpasang di dekat lemari pakaian.

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang