"Oh... sekarang aku menemukan kembaranmu yang lain." Celetuk Sebastian sembari menarik kembali tangannya dan menurunkan pisaunya yang berbalut darah kering karena tak mungkin juga dia membunuh dirinya sendiri yang namanya baru saja disebut oleh gadis itu.
Hidung Ava berkerut, ia bisa mencium aroma khas darah berasal dari arah belakang.
"Kau tidak mau berbalik?" Sebastian menyunggingkan senyum miring saat Ava tak kunjung merespon ucapannya.
Merasa gemas, Sebastian menangkap bahu Ava dan mencengkramnya hingga gadis itu terlonjak kaget lalu baru mau membuka kata.
"Ehm, a-i-u-oooooo..." sekarang Ava pura-pura disabilitas dan mulai meraba-raba sekitar seakan dirinya buta.
"Huh..." Sebastian menghela nafas jengah lalu bergumam pelan. "Sedang kambuh rupanya."
"Kuharap kau tidak main-main dalam berucap kalau masih sayang pada lidahmu." Tampalnya galak.
Merasa pusing, Sebastian memijat pelan pelipisnya. Membuat darah yang tadinya ada di tangan berpindah ke dahi, alhasil karena belum mau jadi gila--Sebastian memutuskan untuk mengabaikan Ava malam itu dan meninggalkannya disana.
Hoshh hoshhh...!
Nafas Ava terengah kencang, dadanya kembang kempis menghirup oksigen dalam-dalam. Beberapa detik lalu ia menahan nafas secara tak sadar sampai wajahnya memerah keseluruhan karena paru-parunya tak mendapat pasokan udara.
Serangan panik memang membuat panik. Ava niatnya mau pergi mencari makanan lagi namun orang-orang ayahnya lebih dulu datang dan mengepung, mereka langsung memegangi sisi kanan dan kiri lengan Ava kemudian membawa gadis itu kembali.
Sebastian memperhatikan dari jauh dengan wajah tanpa ekspresi, ia berdiri diantara pepohonan yang datarannya bisa dibilang lebih tinggi dari tempat pertemuannya dengan Ava barusan.
"Menyedihkan." Desisnya berkomentar.
"Lagipula memangnya aku seram, ya?" tanya Sebastian kepada dirinya sendiri seraya melihat penampilannya dari atas ke bawah yang berlumuran darah.
Sebastian sebenarnya ingin diam-diam naik dan mengejutkan Ava untuk melihat reaksi gadis itu serta akan berpura-purs menjadi apa lagi dia untuk mencoba menghindarinya.
Namun waktu Sebastian menipis, ia harus kembali sebelum pukul dua dini hari. Ayahnya mungkin akan memergokinya berada diluar istana lagi secara diam-diam dan Sebastian tidak ingin hal itu terjadi sehingga ia harus pulang.
Sekitar dua puluh menit kemudian Sebastian telah sampai di kamarnya yang berada di lantai lima bangunan istananya dengan cara memanjat melalui besi-besi hiasan yang ada di sepanjang dinding luar sampai ke balkon kamarnya.
Pemuda itu lalu cepat-cepat melepaskan pakaiannya, mengelap jejak darah yang melekat pada lekukan tubuh kekar nan seksi miliknya dengan banyaknya pack roti panas yang... ah, tidak bisa dihitung satu-satu karena terlalu menggoda!
Sebastian lalu bergegas menyambar kemeja lain, memasangnya dengan terburu-buru kemudian melompat naik ke atas kasur dan menyelimuti dirinya masih dengan tergesa karena tak lama terdengar sebuah langkah kaki khas yang dikenalnya sebagai milik Malvolio mendekat ke kamar.
Kriett~
Pintunya baru saja dibuka. Sebastian langsung membuka mulutnya, satu-satunya kebiasaan tidur yang sama sekali membuatnya jadi tidak tampan yakni mangap. Jika Sebastian mangap maka dia tidur, jika Sebastian mingkem atau menutup mulut maka sudah pasti Sebastian hanya pura-pura.
Malvolio mengamati dari jauh, dilihatnya keadaan mulut Sebastian tengah terbuka lalu ia mengangguk samar sebelum akhirnya menarik diri dan kembali menutup pintu kamar putra keduanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive From Sebastian
FantasySetelah meninggal karena bunuh diri dan dihidupkan lagi sebagai Ava Eulalie-seorang figuran novel yang dibunuh pada bagian prolog karena memergoki aksi pembunuh berantai yang tak lain dan tak bukan ialah Pangeran Mahkota Sebastian Calliope. Kini ia...